Jakarta - Sikap tegas Gubernur Papua Lukas Enembe yang meminta Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pergi dari tanah Papua mendapat apresiasi dari banyak kalangan.
Ketua Tim Task Force Forum Advokat Pengawal Pancasila (FAPP) Petrus Selestinus mengatakan, seluruh Gubernur di Indonesia harus bersikap tegas, konsisten dan persistens terhadap Ormas Radikal yang anti Pancasila dan NKRI, sebagaimana sikap itu telah ditunjukan oleh Gubernur Papua.
Lukas Enembe telah meminta Anggota dan Pengurus HTI segera angkat kaki dari Bumi Cenderawasih, bahkan meminta Kepolisian menindak tegas Pengurus dan Anggota HTI di Papua jika tetap melakukan aktifitas sosial keagamaan atas nama HTI di tanah Papua.
"Permintaan ini sangat beralasan, karena UU sudah melarang dan mengancam dengan sanksi administratif berupa pembubaran ormas dan sanksi pidana penjara bagi Pengurus Ormas yang anti Pancasila termasuk HTI," jelas Petrus.
Petrus selaku ketua FAPP mengapresiasi sikap tegas Gubernur Papua Lukas Enembe, karena telah menunjukan keprihatinan dan tanggung jawabnya selaku pimpinan pusat di daerah demi menjaga Papua sebagai bagian dari NKRI.
Sikap Gubernur Papua Lukas Enembe terkait paham radikal dan intoleran, jelas Petrus, telah menunjukan jati diri orang Papua yang sangat Indonesia, sangat Pancasila, sekaligus mempertegas bahwa Papua adalah bagian yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dengan NKRI.
"Sikap kesatria ini sangat ditunggu publik, terutama di saat kondisi sosial politik di tanah Papua yang masih mencekam akibat isu sara," tegasnya.
Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 16 Tahun 2017 tentang Ormas, melarang "Ormas melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras dan atau golongan, melakukan kegiatan penistaan agama, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI, menganut, serta menyebarkan paham yang betentangan dengan Pancasila.
Karena itu bagi setiap Anggota dan Pengurus Ormas yang melanggar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Kata Petrus, secara hukum (hukum positif) terdapat ancaman pidana berat bagi Anggota dan/atau Pengurus Ormas yang melakukan kejahatan separatis, menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila, mengancam kedaulatan NKRI dll.
"Tapi hingga saat ini belum ada satupun anggota dan/atau pengurus ormas terutama HTI yang diproses secara pidana sebagai bagian dari penegakan hukum pidana, termasuk HTI yang ada di Papua," jelasnya.
Ia mengingatkan, Presiden Jokowi sebenarnya dengan sangat berani telah mengubah UU Ormas No. 17 Tahun 2013 melalui Perpu No. 2 Tahun 2017 ya g telah menjadi UU no. 16 Tahun 2017, karena UU Ormas No. 17 Tahun 2013 tersebut telah membuat posisi negara menjadi sangat lemah bahkan tidak berdaya ketika hendak menindak Ormas yang melakukan aktifitas anti Pancasila dan mengancam eksistensi NKRI sebagaimana selama ini dikembangkan oleh HTI di seluruh Indonesia.
Petrus menilai di Papua masih banyak anggota dan pengurus ormas radikal yang secara kasat mata masih melakukan aktifitas anti terhadap Pancasila dan mengganggu kehidupan beragama.
"Tetapi tidak ada satupun anggota dan/atau pengurus ormas HTI atau ormas radikal lainnya dikenakan tindakan hukum berupa sanksi pidana sesuai dengan UU No. 16 Tahun 2017 Tentang Ormas.," katanya.
Ini memberi kesan Negara masih bersikap permisif, lunak dan toleran terhadap kelompok intoleran dan radikal yang sedang mengoyak-ngoyak persatuan dan kesatuan Indonesia berdasarkan Pancasila, NKRI, Bhineka Tinggal Ika dan UUD 1945.
"Terutama yang sangat merugikan kelompok agama minoritas dengan kemasan dan baju yang selalu berubah-ubah. Saatnya negara harus hadir dan digdaya," tuntas Petrus Selestinus.