• Bisnis

Menunggu Perbaikan Layanan Perbankan Syariah di Indonesia

Akhyar Zein | Rabu, 03/02/2021 07:19 WIB
Menunggu Perbaikan Layanan Perbankan Syariah di Indonesia Logo Bank Syariah Indonesia (Dok. Bank Syariah Indonesia)

Katakinin.com – Widyawati, 36 tahun, mengernyitkan dahi saat ditanya pengalamannya sebagai nasabah bank syariah.

Sudah 10 tahun belakangan ini dia menggunakan layanan perbankan syariah, setelah kantornya membayar gaji lewat salah satu bank milik pemerintah.

Menurut dia banyak pengalaman “tidak enak” meski ada hal-hal yang cukup membantu dia melakukan transaksi keuangan.

Masalah paling sering dia alami adalah saat gajian, aplikasi mobile banking di telepon genggamnya sering mengalami gangguan.

Kadang-kadang tidak bisa mengirimkan uang atau membayar tagihan, ujar dia.

Dia sudah sering mengadukan masalah ini pada bagian keuangan kantornya, tapi sejauh ini belum ada perbaikan.

Alasan yang sering dia dengar adalah karena saat tanggal muda itulah puncak pemakaian, sementara kapasitas mobile banking yang dimiliki bank tidak cukup untuk melayani seluruh pengguna dalam waktu bersamaan.

“Jaringan ATM-nya juga jarang. Susah sekali saya menemukan mesin ATM bank saya ini,” ujar dia.

Sebagai nasabah, dia juga ingin mendapatkan kemudahan berbelanja di super market yang biasanya disediakan oleh bank konvensional, misalnya diskon bagi pemegang baik kartu debit maupun debit.

Sayangnya fasilitas promosi semacam itu tidak pernah dia dapatkan.

Pengalaman paling tidak enak adalah saat dia antre berjam-jam di salah satu kantor cabang bank, padahal saat itu dia sedang hamil tua.

Di kantor cabang itu, hanya ada dua meja customer service, tapi hanya satu yang beroperasi. Petugas lain, kata dia sedang sakit dan tidak ada penggantinya.

“Saya akhirnya pulang karena tidak tahan. Kalau ada pegawai yang berhalangan seharusnya diganti dong, biar pelayanannya tetap lancar,” ujar dia.

Pengalaman serupa juga dialami oleh Nurmasari, seorang pekerja kantoran yang juga nasabah bank syariah milik pemerintah.

Dia juga pernah berjam-jam menunggu layanan di kantor cabang bank syariah. Selain itu dia juga kerap menghadapi persoalan ATM dan aplikasi mobile banking yang sering terganggu.

Dia juga heran mengapa bank yang dia gunakan tidak mengeluarkan uang elektronik, padahal fasilitas tersebut sangat dibutuhkan terutama karena transaksi non tunai sedang digencarkan pemerintah.

Saat mendengar kabar merger tiga bank syariah milik pemerintah, dia mempunyai harapan besar agar pelayanan pada nasabah di bank baru nanti bisa lebih optimal.

Dia menekankan agar pelayanan nasabah di kantor bank-bank ini diperbaiki. Selain itu, dalam bidang teknologi juga tidak boleh ketinggalan dengan bank-bank konvensional yang menurutnya “sudah lebih canggih.”

“Bank lain sudah bisa mengisi uang elektronik lewah telepon genggam. Masa sih bank syariah malah tidak punya uang elektronik,” ujar dia.

Sebelumnya pada Senin 1 Februari lalu, Presiden Joko Widodo meluncurkan Bank Syariah Indonesia (BSI), hasil merger tiga bank syariah milik pemerintah yaitu BRI Syariah, Bank Syariah Mandiri, dan BNI Syariah.

Penggabungan ini membuat BSI menjadi bank syariah dengan aset terbesar di Indonesia,  sebesar Rp240 triliun dengan modal inti lebih dari Rp22,6 triliun.

Total Dana Pihak Ketiga (DPK) mencapai Rp210 triliun, serta total pembiayaan Rp157 triliun.

Dari sisi jaringan, BSI didukung oleh lebih dari 1.241 kantor cabang, sekitar 2.447 jaringan ATM, dan lebih dari 20.000 karyawan.


-- Peningkatan kapasitas dan investasi teknologi informasi

Ibrahim Assuaibi, seorang pelaku industri keuangan, mengatakan sangat penting bagi BSI untuk melakukan reorganisasi Sumber Daya Manusia (SDM) dan investasi pada bidang teknologi informasi.

Kedua bidang ini menurut dia penting untuk meningkatkan performa pelayanan nasabah, baik secara online maupun offline.

Keluhan soal pelayanan dan kapasitas teknologi seperti dirasakan Widyawati dan Nurmasari adalah fakta yang harus segera diperbaiki.

“Jika BSI sudah diluncurkan, tapi SDM dan teknologi tidak mendukung akan sia-sia,” ujar Ibrahim pada Anadolu Agency.

“IT yang harus dikejar, paling tidak mengikuti teknologi BCA (Bank Central Asia), agar masyarakat berpindah ke BSI,” tambah dia.

Indonesia kata Ibrahim yang juga direktur perusahaan pialang, Garuda Berjangka, mulai memiliki industri keuangan syariah sejak 30 tahun lalu, ditandai dengan berdirinya Bank Muamalat pada 1991.

Namun hingga kini pangsa pasar bank syariah baru menembus 6 persen dengan total aset Rp499,98 triliun.

Itupun baru dicapai pada 2019 lalu.

Saat ini, perbankan syariah baru mempunyai 165 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), 20 unit Usaha Syariah (UUS) dan 14 Bank Umum Syariah (BUS).

Kondisi yang tidak menggembirakan ini menurut Ibrahim menuntut pelaku bank syariah tidak hanya mengampanyekan nilai-nilai keislaman dalam mencari nasabah dan mengelola bisnis, namun juga harus memiliki keunggulan-keunggulan seperti kemudahan layanan serta teknologi yang dimiliki bank konvensional.

“Bank syariah itu sudah ada sejak lama, namun bank ini tidak bisa bersaing. Masyarakat Indonesia sejak zaman Belanda sudah terbiasa dengan layanan bank konvensional, seperti membayar bunga dan jaminan,” ujar dia.

Untuk mengubah kondisi ini, menurut dia perlu kerja keras dan kreativitas agar pasar bank syariah makin ekspansif.

Dia memperkirakan bank ini baru akan booming pada 2023-2024 setelah bisa melakukan konsolidasi SDM dan teknologi.

Jika tidak, BSI ini hanya akan mengulangi kegagalan Bank Muamalat, sebagai perintis perbankan syariah di Indonesia yang saat ini terseok-seok menghadapi persaingan.

Peneliti di Center of Reform on Economics (Core) Ebi Junaidi mengatakan dalam struktur keuangan Indonesia, penggabungan tiga bank syariah ini membawa optimisme karena bisa mengakselerasi pertumbuhan.

Selama ini orang enggan mempunyai akun di bank syariah karena beberapa hambatan seperti biaya transfer antar-bank yang dirasa memberatkan.

Karena itu pangsa pasar bank syariah tidak berkembang dengan cepat, padahal diprediksi sudah melebihi 5 persen dari total aset perbankan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu.

“Mengapa tidak jadi kenyataan? Itu karena ada barrier untuk memiliki lebih banyak akun di banyak bank, “ujar dia.

“Penggabungan bank ini bisa menghilangkan biaya transaksi, yang sebelumnya harus membayar jika ada transaksi antar-bank,” tambah dia.

Bank dengan ukuran besar, menurut Ebi akan meningkatkan peluang mendapatkan dana murah sehingga bisa bersaing memberikan kemudahan kredit atau layanan lain dengan bank konvensional.

Target BSI untuk bertransformasi menjadi bank BUKU IV dalam dua tahun juga perlu diapresiasi dan sangat mungkin bisa tercapai, ujar dia.

Selain itu, rencana untuk masuk ke kancah industri keuangan Islam global dengan membuka cabang di Timur Tengah juga sangat ditunggu realisasinya.

Ini karena hampir 71 persen dana bank syariah ada di kawasan tersebut sehingga memperbesar peluang penerbitan sukuk global.

Senada dengan Ibrahim, Ebi juga mensyaratkan agar BSI bisa melakukan integrasi antar-bank agar bisa mulai bekerja dengan optimal.

Selain itu masalah reorganisasi serta penempatan pegawai juga menjadi isu penting.

“Tempatkan orang sesuai keahliannya, SDM ditempatkan di tempat yang paling tepat. Jika di antara pegawai muncul pengelompokan, eks bank A atau bank B itu akan jadi tantangan,” ujar dia.

Tantangan berikutnya adalah memperkuat layanan organisasi, terutama layanan IT, agar tidak ada lagi keluhan layanan mobile banking yang bermasalah.

Masalah layanan teknologi informasi, BSI harus berpikir seperti halnya pengelola market place, “jika ada kerusakan sedikit saja, error, mereka akan merasa rugi besar. Seperti ini kita harapkan dibangun di bank syariah baru.”

Menurut dia investasi besar-besaran dalam bidang IT akan sangat dibutuhkan oleh BSI

--Target masuk 10 besar bank global

Direktur Utama BSI Hery Gunardi mengatakan strategi bisnis akan fokus menumbuhkan segmen UMKM dalam ekosistem yang terintegrasi.

Selain itu juga melayani segmen retail dan consumer, serta mengembangkan segmen wholesale dengan produk yang inovatif termasuk pengembangan bisnis global, seperti global sukuk.

“BSI akan dijalankan sesuai dengan prinsip maqashid syariah,” ujar dia.

Selain menjalankan fungsi intermediari dan menyalurkan pajak, menurut Hery, bank juga akan berusaha melakukan pemerataan perekonomian dengan zakat, infak, sedekah dan wakaf.

“BSI akan berupaya menjadi top 10 bank syariah di dunia dari sisi kapitalisasi pasar dalam kurun waktu 5 tahun,” ujar dia.

Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan BSI ditargetkan sejajar dengan bank syariah terbesar di dunia, seperti Al-Rajgi hingga Albilad Bank.

Pemerintah ingin, hasil merger ini akan bisa membuktikan negara dengan jumlah populasi muslim terbesar ini memiliki kondisi bank yang kuat secara fundamental.

“BSI ini menjadi energi baru bagi ekonomi Indonesia yang senantiasa menerapkan prinsip financial justice dan stability in investment,” ujar dia.

Irfan Syauqi Beik, ekonom dari Institut Pertanian Bogor (IPB) menyoroti peran penting peran pemerintah untuk mendukung BSI, terutama dengan dorongan kebijakan.

Salah satu caranya adalah mendorong bank induk dari tiga entitas merger ini menambahkan modal inti agar segera bisa bertransformasi menjadi bank BUKU IV.

Selain itu kata Irfan, pemerintah perlu melakukan kebijakan afirmasi yang memberi ruang gerak lebih besar pada BSI.

Misalnya, kata Irfan mewajibkan perguruan tinggi Islam milik pemerintah dan kementerian agama melakukan aktivitas keuangan di BSI.

Bisa juga memperbolehkan transfer gaji dengan rekening bank syariah.

Perusahaan di kawasan industri halal juga bisa mengakselerasi pertumbuhan BSI, yaitu dengan mewajibkan mereka bertransaksi dengan bank syariah.

“Hal lain yang bisa dilakukan adalah melibatkan bank syariah dalam proyek berbasis APBN. Ini bisa menaikkan volume transaksi,” ujar dia.

Dengan konsolidasi dan dukungan kebijakan yang tepat, BSI bisa menaikkan aset menjadi Rp390-Rp500 triliun dalam lima tahun.

“Dengan demikian, BSI bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia.”(Anadolu Agency)