Katakini.com – Pemerintah Indonesia meninjau ulang target-target pengembangan panas bumi hingga 2030 karena penurunan permintaan akibat pandemi Covid-19, ujar salah seorang pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Harris Yahya mengatakan saat ini permintaan energi panas bumi berkontraksi hingga 2,4 persen akibat pandemi.
Sebelumnya pemerintah mempunyai target pengembangan energi panas bumi hingga 3,2 giga watt (GW) pada 2025 dan 4,5 GW pada 2030.
“Rencana pengembangan ini sedang terus direview,” ujar Harris dalam sebuah diskusi online, Kamis.
Menurut Harris pengembangan panas bumi membutuhkan waktu lama dan biaya serta mempunyai risiko kegagalan yang besar.
Setiap megawatt menurut dia menghabiskan dana sekitar USD4,7 juta.
Hingga kini Indonesia baru mempunyai pembangkit listrik tenaga panas bumi sebesar 2,13 Giga Watt (GW) atau baru dari 8,9 persen dari total sumber daya yang bisa dimanfaatkan sebesar 23,76 GW.
Pemerintah menurut dia terus berupaya agar target-target pengembangan tersebut tetap tercapai.
Upaya ini antara lain dengan melakukan deregulasi listrik panas bumi yang akan membaut harga jualnya lebih kompetitif.
Selan itu pemerintah sendiri juga melakukan pengeboran eksplorasi, sehingga bisa menurunkan risiko dan meningkatkan keekonomian proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
Pemerintah juga menyediakan insentif ekonomi lain seperti fasilitas pengurangan pajak penghasilan berupa tax allowance atau tax holiday; fasilitas bea masuk dan pajak dalam rangka impor; serta pembebasan pajak bumi dan bangunan dalam tahap eksplorasi.
Selain itu pemerintah juga memperbolehkan kepemilikan asing dalam pengusahaan panas bumi.
Menurut dia pengembangan panas bumi di Indonesia menghadapi hambatan karena lokasi proyek berada di kawasan Tropical Rain Forest Heritage of Sumatera yang ditetapkan oleh Unesco.
Selain itu serta isu pelarangan pendayagunaan sumber daya air di lokasi konservasi.
“Ini butuh koordinasi antarkementerian yang harus segera diselesaikan,” ujar dia.
Indonesia sudah berkomitmen untuk merealisasikan bauran energi fosil dan energi baru terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 atau mempunyai pembangkit EBT sebesar 115 GW.
Namun hingga tahun lalu realisasinya baru 11,2 persen sehingga masih ada kekurangan lebih dari 10 persen.
Indonesia pada 2050 menurut Harris ditargetkan mempunyai bauran energi sebesar 31 persen dengan pembangkit listrik EBT sebesar 430 GW dan menjadi negara dengan net zero emission.
Tapi setidaknya Indonesia masih akan menambah listrik dari energi fosil yaitu batu baru paling tidak 7.000 mega watt, karena proyek pembangkit 35.000 MW yang dicanangkan pemerintah.
Setelah itu, proyek berbahan dasar batu bara akan dihentikan sehingga memberikan ruang lebih besar pada energi terbarukan.
Jika bauran batu bara mencapai paling tidak 28 persen pada 2030 maka Indonesia sudah bisa menurunkan kontribusi emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton CO2E.
“Saat ini kita baru bisa menurunkan emisi 64,3 juta ton dari sektor energi,” ujar dia.
Di sektor lain, realisasi energi air mencapai 6,8 GWh dari target 6,23 persen atau 18,6 GWh.
Serapan bauran pembangkit Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Bahan Bakar Nabati (BBN) mencapai 3,75 persen dengan rincian volume 0,86 juta kilo liter untuk BBM dan 0,29 juta kilo liter untuk BBN.
Presiden Direktur PT Geodipa Ricky Firmanda Ibrahim mengatakan pengembangan listrik panas bumi terkendala berbagai masalah.
PT Geodipa adalah badan usaha milik pemeritah yang bergerakan dalam sektor energi panas bumi.
Antara lain terbatasnya lembaga keuangan yang memberikan akses pendanaan pada fase eksplorasi.
Selain itu banyak pengembang yang belum memenuhi kriteria 5C yaitu character, capacity, capital, condition dan collateral.
Tantangan lain adalah cadangan panas bumi tidak sesuai dengan perencanaan.
“Pengembangan energi panas bumi juga sering berhadapan dengan isu sosial dan perizinan. Selain itu area proyek juga berada pada hutan konservasi,” ujar dia.
Tantangan ini menurut dia tidak bisa diselesaikan dengan cara bisnis seperti biasa, namun harus mempunyai inovasi.
“Harus juga diperhatikan competitiveness dengan energi terbarukan lain,” ujar dia.(AA)