Katakini.com – Para aktivis reformasi 98, yang mengantarkan Indonesia meninggalkan Orde Baru otoriter kepada tata pemerintahan baru yang lebih demokratis, prihatin dengan kondisi bangsa meski sudah 23 tahun menjalani masa reformasi.
Para aktivis ini pada 98 memperjuangkan paling tidak tiga aspirasi yaitu mewujudkan demokrasi multipartai; pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme; penghormatan terhadap hak asasi manusia; serta mencabut fungsi sosial politik militer.
Reformasi yang dimulai pada 21 Mei 1998, ditandai dengan kejatuhan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun, belum bisa sepenuhnya mewujudkan aspirasi tersebut.
Barid Hardiyanto, aktivis 98 yang sekarang menjadi pegiat NGO dan mengajar di berbagai kampus mengatakan secara politik, era reformasi memang memberi kesempatan rakyat mendapatkan pilihan yang relatif lebih bebas,
Namun kata dia itu hanya demokrasi prosedural, tanpa output yang mencerminkan harapan sesungguhnya.
“Hasilnya, para anggota legislatif lebih banyak merepresentasikan pengusaha ketimbang rakyat yang lebih membutuhkan untuk diwakili seperti buruh, tani, perempuan atau kaum difable,“ ujar dia pada Anadolu Agency.
Efek lain adalah terbitnya regulasi yang dianggapnya tidak berpihak pada agenda-agenda reformasi seperti revisi UU KPK, UU Minerba dan Omnibus Law Cipta Kerja.
Usman Hamid, aktivis yang kini menjadi Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia melihat hak-hak sipil masyarakat yang diperjuangkan pada awal reformasi harus dikuatkan kembali.
Menurut dia hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat dalam beberapa tahun terakhir rentan mengalami pengekangan hingga represi.
Sepanjang 2020, Amensty mencatat, terdapat 119 kasus dugaan pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dengan menggunakan UU ITE.
Dia menuturkan, total 141 tersangka, termasuk di antaranya 18 aktivis dan empat jurnalis.
Sementara hingga Mei 2021, Amnesty mencatat setidaknya terdapat 24 kasus serupa dengan total 30 korban.
Kasusnya mulai dari kriminalisasi dengan UU ITE hingga serangan digital terhadap kritik pemerintah.
“Sudah lebih dari dua dekade kita melewati masa reformasi, kejadian yang bertentangan dengan asas kebebasan yang diperjuangkan 1998 lalu masih terjadi,” ujar Usman.
Reformasi yang berjalan selama 23 tahun, menurut dia belum membawa situasi demokrasi yang diinginkan.
Meski demikian dia bersyukur karena selama 20 tahun Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum tanpa ada interupsi kudeta militer atau perang bersaudara.
"Setidaknya masih ada kebebasan untuk beroposisi kepada pemerintah," kata Usman.
Dendi Ramdani, aktifis yang kini menjadi ekonomi Bank Mandiri agenda-agenda reformasi masih jauh dari harapan.
Menurut Dendi setidaknya masih ada tiga masalah utama yang belum terselesaikan.
“Tentu masih banyak PR terutama di sisi pemerataan pembangunan, penanganan kemiskinan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia,” kata dia.
Namun menurut dia, arah reformasi itu sendiri sudah dalam jalur yang benar.
Dia juga mencatat restrukturisasi ekonomi berjalan lambat dan masih bergantung dengan sektor komoditas.
“Harusnya kan ekonomi dibangun itu basisnya industri. Nah itu kita ketinggalan,” jelas Dendi.(AA)