Jakarta, katakini.com – Kepatuhan terhadap pengobatan, dukungan keluarga (caregiver), akses terhadap layanan kesehatan, serta edukasi yang terus menerus memainkan peranan penting bagi pasien untuk dapat hidup berdamai dengan penyakit Thalassemia. Penyandang Thalassemia memerlukan perawatan sejak dini dan terapi secara rutin untuk dapat memiliki kehidupan yang berkualitas dan melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik.
Dalam membuka Virtual Media Briefing hari ini, Mulia Lie, Direktur PT. Kalbe Farma,
mengatakan, “PT Kalbe Farma terus menunjukkan komitmennya dalam mendukung
kesehatan masyarakat, termasuk pada penyakit yang tergolong langka (rare disease), salah satunya Thalassemia. Melalui Gerakan Peduli Thalassemia, Kalbe memiliki tiga visi, yaitu yang pertama meningkatkan kualitas hidup penyintas Thalassemia". Ujarny.
Ia menambahkan, "Kalbe sebagai perusahaan farmasi dalam negeri telah mampu memproduksi produk kelasi besi di Indonesia sehingga obat kelasi besi lebih mudah diakses dan harganya terjangkau. Kedua, meningkatkan awareness masyarakat terhadap manfaat dan pentingnya donor darah. Kalbe secara aktif berkolaborasi dengan banyak stakeholder, misalnya ‘Donor darah tidak membatalkan puasa’ sesuai Fatwa MUI, Sosialisasi kriteria orang yang boleh mendonorkan darahnya pasca-COVID positif atau pasca vaksinasi COVID-19, dan lain-lain.”
Ia juga menambahkan, “Visi yang ketiga, Kalbe meningkatkan awareness masyarakat bahwa Thalassemia dapat dicegah. Kalbe berkolaborasi dengan IDAI UKK Hematologi Onkologi, Yayasan Thalassemia Indonesia, POPTI. Komunitas Thalassemia berperan aktif dalam melakukan kampanye ‘Skrining Darah sebelum Berpasangan’ sebagai salah satu upaya memutus mata rantai Thalassemia di Indonesia. Tahun ini, dalam rangkaian acara World Thalassemia Day yang bertepatan dengan Peringatan HUT YTI POPTI, kami menggelar acara Webinar bertajuk ‘Satu Asa, Satu Tujuan Menuju Zero Kelahiran Thalassemia Mayor’ pada Sabtu 29 Mei 2021 yang diikuti secara virtual oleh penyintas, caregiver Thalassemia seluruh Indonesia maupun masyarakat umum.”
Pada kesempatan yang sama, dr. Bambang menjelaskan, “Di Indonesia diperkirakan frekuensi pembawa sifat alfa Thalassemia mencapai 2.6% -11%, beta thalassemia 3%-10% serta varian lain Thalassemia HbE mencapai 1.6%- 33% dari total populasi yang mencapai 256 juta penduduk. Setiap tahun diperkirakan akan lahir 2500 bayi dengan Thalassemia major. Jumlah Thalassemia di Indonesia yang teregisitrasi baru mencapai 9123 (2016). Hal ini disebabkan kemungkinan masih banyak yang belum di laporkan, belum semua RS mampu untuk mendiagnosis Thalassemia dengan benar (underdiagnosis) dan lain sebagainya.”
Ia menambahkan “Saat ini pengobatan Thalassemia dapat dilakukan dengan transfusi darah merah. Pemberian transfusi darah diberikan pada anak dengan kadar Hemoglobin kurang dari 7 gr/dL pada awal diagnosis, dan harus rutin dilakukan dengan rentang waktu 2-4 minggu.”
“Setiap kantong transfusi darah,” ujarnya, “Mengandung 200 -250 mg zat besi zat yang
menumpuk didalam jaringan tubuh. Pada umumnya setelah 20 kali transfusi darah, anak akan mengalami kelebihan zat besi (iron overload). Zat besi yang berlebih ini akan tertimbun di organ-organ penting tubuh diantaranya adalah otak, pankreas, jantung, hati, ginjal serta organ penting lainnya yang dapat mengakibatkan gagal jantung, sirosis hepatis (kerusakan sel hati), diabetes melitus, kelainan ginjal dan kematian. Oleh karena itu kelebihan zat besi ini harus dikeluarkan dari tubuh dengan memberikan pengobatan kelasi besi.”
“Kepatuhan penyandang dalam mengkonsumsi obat juga sangat berpengaruh terhadap keberhasilan pengobatan kelasi besi ini. Dibutuhkan edukasi yang terus menerus tentang dampak yang ditimbulkan bila tidak patuh mengkonsumsi kelasi besi. Disamping itu penyandang juga dianjurkan untuk mengkonsumsi sayuran dan buah-buahan yang banyak mengandung nutrient dan vitamin (asam folat, vitamin E, vitamin C),” jelasnya.
Dalam presentasinya, dr. Bambang juga menekanan untuk melakukan Screening Thalassemia guna mendapatkan data awal yang idealnya dilakukan sebelum menikah. Dari hasil screening tersebut akan dilakukan konseling genetik yang lebih mendalam.
Ruswandi, Ketua Perhimpunan Orangtua Penyandang Menjelaskan, Thalassemia Indonesia (POPTI) dan Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) mengatakan, “Data YTI-POPTI mencatat, saat ini terdapat 10.647 penyandang Thalassemia yang tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak berada di Jawa Barat dengan jumlah 4.164 orang, jumlah terkecil terdapat di Sumatera Barat, yaitu sebanyak 22 orang.”
“Terdapat beberapa hambatan yang dialami penyandang Thalassemia di Indonesia untuk dapat menjalankan pengobatan dan memperbaiki kualitas hidupnya. Dari aspek perawatan, hambatan pertama yaitu masih kurangnya pengadaan darah di RS yang ada di Indonesia sehingga pasien harus membawa donor pengganti dan ini bukanlah hal yang mudah. Selanjutnya, masalah rujukan bagi pasien yang hanya berlaku selama 3 bulan sehingga orangtua dan pasien harus selalu memperbarui rujukannya dengan membawa serta pasien yang seringkali sulit dilakukan karena lemahnya kondisi pasien. Ketiga, yaitu masih kurangnya jumlah Unit Thalassemia di Indonesia yang menyebabkan pasien yang tinggal jauh dari unit layanan tersebut memerlukan biaya transportasi yang tinggi serta dapat menyebabkan menurunnya kondisi pasien,” tambahnya.
Ia menambahkan, “Dari segi aspek psikososial, penyandang Thalassemia juga memiliki kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan karena mereka tergantung dengan keberadaan transfusi darah di RS setiap bulannya. Hal ini menyebabkan pasien sering tidak masuk kerja.”
“Namun demikian,” ia menghimbau, “Penyandang Thalassemia agar berbesar hati dan selalu optimis, terus bersemangat dalam menjalani hidup serta jangan putus asa untuk masa depan mereka. Rutin menjalankan transfusi darah sebanyak Hb 9g/dl serta harus mengkonsumsi obat kelasi besi untuk menurunkan kadar zat besi dalam tubuh.”