Katakini.com- Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengapresiasi kinerja Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam menyelesaikan pembayaran kompensasi bagi korban terorisme sejak peristiwa Bom Bali 2002.
Sebagai implementasi Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang diperkuat dengan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, korban tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi.
"Pada 16 Desember 2020, LPSK telah menyelesaikan kompensasi sebesar Rp 39,2 miliar untuk 215 korban terorisme. Kompensasi untuk korban yang meninggal dunia akibat terorisme mencapai Rp 250 juta, korban luka berat Rp 210 juta, luka sedang Rp 115 juta, dan luka ringan Rp75 juta. Kompensasi telah diserahkan langsung oleh Presiden Joko Widodo kepada keluarga/korban terorisme," ujar Bamsoet usai menerima pimpinan LPSK, di Jakarta, Senin (1/11/21).
Selain korban tindak terorisme, hak kompensasi dan restitusi (ganti kerugian dari pelaku) juga bisa didapat oleh korban tindak Pelanggaran HAM Berat (PHB), sesuai ketentuan Pasal 7 UU Nomor 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun realisasi kompensasi PHB sampai saat ini masih belum bisa dirasakan oleh masyarakat. Karenanya, perlu adanya penguatan wewenang terhadap LPSK dengan melakukan revisi terhadap UU Nomor 31/2014.
"Penguatan yang dilakukan, menurut LPSK, antara lain terkait penghargaan, perlindungan dan perlakuan khusus bagi saksi pelaku atau justice collaborator dan pelaksanaan pembayaran restitusi. Serta diperlukan pula regulasi di tingkat pemerintah yang dapat segera memungkinkan pemenuhan hak kompensasi bagi korban PHB," jelas Bamsoet.
LPSK juga telah berhasil memperjuangkan restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Antara lain kepada korban TPPO kasus ABK Long Xing 629, dengan nilai restitusi mencapai Rp 176.500.000. Namun demikian, implementasi restitusi TPPO juga masih mengalami berbagai hambatan.
"Pasal 50 ayat 4 UU No.21/2007 tentang TPPO mengatur jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun. Aturan ini menurut LPSK masih terlalu ringan. Sehingga banyak pelaku yang lebih memilih dikenai tambahan pidana kurungan dari pada harus membayar restitusi. Karenanya perlu adanya revisi terhadap UU TPPO," terang Bamsoet.
Restitusi yang wajib dibayarkan oleh pelaku/terdakwa, merupakan salah satu wujud dari pemulihan/keadilan untuk korban.
Restitusi merupakan penanda bergesernya orientasi Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari yang berorientasi pelaku menjadi berorientasi ke korban.
"Agar hal tersebut dapat direalisasikan, LPSK menyarankan perlunya dilakukan perbaikan regulasi terkait restitusi. Antara lain perlunya segera dibuat aturan pelaksanaan tentang penyitaan dan pelelangan harta pelaku-terpidana untuk pembayaran restitusi. Selain itu, adalah disegerakannya penyelesaian penyusunan PERMA Restitusi sebagaimana diamanatkan oleh PP No. 07/2018," pungkas Bamsoet.