Jakarta - Daur ulang tidak akan mampu menahan krisis sampah plastik global yang tak terkendali. Demikian keterangan para ahli di tengah seruan kepada industri untuk mengurangi produksi plastik.
Sebelumnya, daur ulang diyakini dapat meringankan masalah sampah plastik. Namun kini perubahan radikal pada sistem produksi juga diperlukan.
"Kami tidak akan bisa jika hanya mendaur ulang," kata Rob Kaplan, CEO Circulate Capital, yang berinvestasi dalam inisiatif pasar negara berkembang untuk mengatasi krisis sampah plastik dikutip dari Reuters pada Jumat (3/12).
"Ini masalah sistem dan perlu menggabungkan solusi hulu dan hilir," sambung dia.
Dunia menghasilkan sekitar 300 juta ton sampah plastik setiap tahun, menurut Program Lingkungan PBB. Tetapi kurang dari 10 persen plastik yang pernah dibuat telah didaur ulang.
Sebagian besar karena terlalu mahal untuk dikumpulkan dan disortir. Sisanya berakhir dibuang atau dikubur di tempat pembuangan sampah atau dibakar.
Ketika skema daur ulang goyah, lanjut Kaplan, perusahaan barang dengan konsumen besar, seperti Unilever, Coca-Cola, dan Nestle mulai berinvestasi dalam proyek membakar sampah plastik, sebagai bahan bakar di tempat pembakaran semen.
"Daur ulang tidak dapat bersaing dengan produksi berlebih," ujar Von Hernandez dari kampanye Break Free from Plastic, aliansi global yang menyerukan diakhirinya polusi plastik.
"Jadi yang kami butuhkan adalah batasan produksi plastik murni," kata dia lagi.
Meskipun tidak ada regulator atau perjanjian global untuk industri plastik, para ahli menyarankan konsumen meminta pertanggungjawaban perusahaan melalui siklus hidup produk plastik dan di mana sampah-sampah itu berakhir.
"Warga dan konsumen dapat memaksa perusahaan-perusahaan ini untuk mengungkapkan plastik global dan jejak karbon mereka, mengurangi jumlah plastik yang mereka produksi dan sebarkan ke pasar, dan benar-benar menemukan kembali sistem pengiriman mereka," kata Hernandez.