JAKARTA - Wakil Ketua MPR Dr. Jazilul Fawaid SQ., MA., mengucapkan selamat Hari Raya Imlek 2573 kepada kalangan Tionghoa. “Selamat Hari Raya Imlek, Gong Xi Fa Cai, semoga kemakmuran terus melimpahi kita,” ujarnya, Jakarta, 4 Februari 2022.
Menurut politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Imlek tahun ini merupakan tahun macan air. Dikatakan, macan merupakan sosok yang mempunyai banyak simbol seperti energi, kepemimpinan, wibawa, kekuatan, kehormatan, perlindungan, altruisme, dan gagasan masa depan.
“Dengan simbol inilah kita bisa optimis dalam menghadapi berbagai ujian di tahun macan,” tuturnya.
Perayaan Imlek di Indonesia, menurut pria asal Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, itu menunjuKkan bahwa bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beragam. “Kita adalah bangsa yang bhinneka, terdiri dari berbagai suku dan agama,” tuturnya.
Hadirnya kalangan Tionghoa di tanah air menurut Jazilul Fawaid menambah khasanah budaya dan keberagaman. “Banyak kontribusi dalam budaya dan sendi-sendi kehidupan yang disumbangkan oleh kalangan Tionghoa kepada bangsa ini,” ujar pria yang akrab dipanggil Gus Jazil itu.
Meski bangsa ini beragam namun menurut alumni PMII itu semua saling menghormati dan menghargai. “Kalangan Tionghoa bisa merayakan Imlek dengan suka cita wujud adanya toleransi dari masyarakat yang lain,” tuturnya. Di tempat ibadah kalangan Tionghoa dan di banyak sudut-sudut jalan di berbagai kota dan kabupaten terpasang lampion serta ornament terkait Imlek. “Ini menunjukan bahwa semua suku dan agama memiliki kesetaraan,” ujarnya.
Nilai-nilai keberagaman, saling menghormati, menghargai, memberi ruang dan kesempatan yang sama inilah menurut Koordinator Nasional Nusantara Mengaji perlu terus dirawat, dipelihara, dan dikembangkan. Bila suasana ini tercipta maka suasana harmoni yang dididamkan oleh semua menjadi kenyataan. “Keinginan seperti ini terus disosialisasikan oleh MPR,” ujarnya.
Jazilul Fawaid merenungkan kembali perayaan Imlek bahwa hadirnya perayaan ini berkat andil yang besar dari Gus Dur. Selama Orde Baru, perayaan Imlek dilarang. Aturan pelarangan ini berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Akibat yang demikian ada keterbatasan bagi kalangan Tionghoa saat merayakan Imlek.
Ketika Gus Dur menjadi Presiden menurut Wakil Ketua DPP PKB tersebut, inpres yang ada dicabut serta mengeluarkan aturan yang baru yakni Keppres Nomor 6 Tahun 2000. Keputusan Presiden inilah yang diakui sebagai babak baru bagi kalangan Tionghoa di Indonesia untuk menjalankan kebebasan beragama, adat, budaya, dan tradisi serta merayakan Imlek secara terbuka di tengah masyarakat.
Diungkapkan oleh Jazilul Fawaid, Gus Dur memberikan kesempatan kembali kepada kalangan Tionghoa untuk menjalankan kebebasan beragama, adat, tradisi, dan budaya sebab dirinya memandang bahwa bangsa ini merupakan bangsa yang beragam.
Sebagai negara yang berlandaskan hukum maka semua sama di mata hukum, “sehingga semua kalangan mempunyai hak dan kewajiban yang sama,” tuturnya. “Tidak boleh ada perbedaan dan diskriminasi yang disebabkan karena mayoritas atau minoritas,” tambahnya.
Lebih lanjut dikatakan, Gus Dur melihat keberagaman bangsa Indonesia merupakan kekuatan besar. Keberagaman akan menjadi kekuatan besar bila semua diberi ruang dan kesempatan yang sama.
Jazilul Fawaid menyebut langkah Gus Dur terkait dengan diberinya kesempatan kembali bagi kalangan Tionghoa dalam menjalankan kebebasan beragama, adat, budaya, dan tradisi, itu mendapat respon positif dari banyak pihak. Kalangan Tionghoa sangat berterima kasih kepadanya sehingga Gus Dur mendapat sebutan “Bapak Tionghoa”. Sebutan ini bukan hanya sekadar diucapkan namun dianugerahkan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah, saat Perayaan Cap Go Meh di Klenteng Tay Kek Sie, 10 Maret 2004.