JAKARTA - Badan Pangan Nasional (Bapanas) memiliki pekerjaan besar guna mewujudkan ketahanan pangan di Indonesia. Selain ketersediaan, pekerjaan yang harus dituntaskan adalah keterjangkauan akses masyarakat terhadap pangan.
"Badan Pangan Nasional bertanggung jawab penuh untuk mencapai ketahanan pangan dalam artian ketersediaan dan keterjangkauan makanan yang beragam, berkualitas, dan bernutrisi bagi masyarakat Indonesia," kata Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta dalam keterangan pers, Rabu (23/2/2022).
Presiden Joko Widodo melantik Arief Prasetyo Adi sebagai Kepala Badan Pangan Nasional, Senin (21/2/2022). Pelantikan Arief sebagai Kepala Bapanas diharapkan berdampak pada pengelolaan sistem pangan di Indonesia.
Menurut Felippa, Bapanas punya pekerjaan rumah yang besar karena ketahanan pangan Indonesia masih rendah. Berdasarkan Global Food Security Index dari The Economist Intelligence Unit, ketahanan pangan Indonesia ada di posisi 69 dari 113 negara, dengan nilai yang rendah di indikator-indikator terkait keterjangkauan pangan, kualitas, dan pengelolaan sumber daya alam dan resiliensi.
Dia menilai, masalah terbesar ketahanan pangan Indonesia adalah keterjangkauan. Harga beras yang masih menjadi salah satu komoditas strategis, kata dia, dua kali lipat lebih mahal dibanding harga beras internasional.
Akibatnya, masyarakat Indonesia harus mengeluarkan proporsi yang lebih tinggi untuk makanan dibanding masyarakat di negara lain. Rata-rata masyarakat Indonesia menghabiskan 56 persen dari pengeluaran mereka untuk membeli makan. Angka ini lebih tinggi dari masyarakat Singapura (20 persen), Malaysia (21 persen) dan Thailand (26 persen).
“Makanan yang bernutrisi jauh lebih mahal lagi, bisa tiga kali lipat harga staple-based diet yang hanya mengandung makanan pokok. Ditambah dengan pandemi, daya beli tentu semakin menurun,” paparnya.
Felippa berpandangan, proses ketersediaan dan akses pangan perlu melibatkan banyak pihak, mulai dari petani, peternak, pedagang hingga industri pangan, yang peranannya harus saling memperkuat dan tidak dipersulit birokrasi.
Badan Pangan Nasional dinilai perlu memastikan kompetisi sehat, keterbukaan, dan efisiensi dalam rantai pasok pangan mulai dari produksi, pengolahan, hingga distribusi. Kompetisi dan keterbukaan yang melibatkan pihak swasta ini, kata Felippa, bisa mendorong inovasi di sektor pangan dan pertanian demi tujuan bersama untuk mencapai ketahanan pangan.
Pekerjaan berikutnya, Badan Pangan Nasional perlu mengevaluasi kebijakan non-tarif dengan melakukan kajian dampak kebijakan impor bersama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan dan juga Kementerian Perindustrian, untuk memastikan dampak dari kebijakan tersebut pada pangan dan gizi masyarakat.
Kementerian Pertanian akan mendelegasikan pembuatan kebijakan untuk cadangan pangan pemerintah dan kebijakan harga (HPP) kepada Bapanas. Sementara Kementerian Perdagangan akan menyerahkan kewenangannya dalam pembuatan kebijakan untuk stabilisasi harga.
“Wewenang pembuatan kebijakan dan penentuan ekspor impor pangan komoditas strategis perlu dimanfaatkan oleh Badan Pangan Nasional secara strategis untuk mendorong ketahanan pangan Indonesia. Peraturan turunan perlu dirancang untuk menyederhanakan prosedur perdagangan pangan, sehingga memastikan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi konsumen,” katanya.