JAKARTA - Amnesty International meluncurkan laporan terkait eksekusi mati terhadap terpidana di dunia yang dilakukan secara yusidial atau melalui proses peradilan pada periode Januari hingga Desember 2021. Peneliti Amnesty International Indonesia, Ari Pramuditya, mengatakan sebanyak 579 orang di dunia dieksekusi mati pada tahun 2021.
"Setidaknya ada 579 orang dieksekusi mati pada tahun 2021. Angka ini meningkat sebanyak 20 persen dari tahun 2020 dengan angka 483 eksekusi," katanya, Selasa (24/5).
Meskipun angka eksekusi mati tersebut meningkat dari tahun 2020. Namun, secara umum angka eksekusi di tahun 2021 masih menjadi salah satu yang terendah sepanjang masa. Angka itu merupakan yang terendah kedua berdasarkan catatan Amnesty International sejak tahun 2010.
Kemudian, dari angka 579 itu terdapat tiga negara penyumbang terbesar di dunia terkait eksekusi mati yaitu Iran dengan 314 orang. Lalu, Mesir dengan 83 orang yang dieksekusi mati, dan diikuti Arab Saudi yakni 65 eksekusi.
"Ketiga negara itu saja sudah menyumbang 80 persen dari semua total angka eksekusi yang diketahui dan diverifikasi Amnesty," sebut Ari.
Vonis Mati Capai 2.052
Sementara, untuk total vonis hukuman mati secara global, Amnesty International mencatat ada peningkatan yang cukup signifikan yakni 40 persen. Sebelumnya, pada tahun 2020 vonis hukuman mati mencapai angka 1.477.
"Sekarang di tahun 2021 ada 2.052 (vonis hukuman mati)," ucap Ari.
Amnesty International juga mencatat terjadinya peningkatan vonis hukuman mati di beberapa negara seperti Aljazair, India, Irak, Yordania, Lebanon, Malawi, Myanmar, Pakistan, dan Vietnam. Angka vonis hukuman mati di dunia sebenarnya cenderung tinggi. Namun, ada beberapa negara yang dianggap kurang transparansi seperti Tiongkok, Korea Utara, dan Vietnam, terkait keterbukaan angka vonis hukuman mati.
"Mereka masih terus menyembunyikan penerapan hukuman mati dengan membatasi akses terhadap informasi terkait hukuman mati," ujar Ari.
Di Indonesia, 114 Orang Dihukum Mati Tahun 2021
Sedangkan, terkait vonis hukuman mati di Indonesia. Setidaknya ada 114 vonis hukuman mati pada tahun 2021. Angka itu mengalami penurunan lantaran di tahun 2020 terdapat 117 vonis hukuman mati. Bahkan, pada tahun 2019 hanya ada 80 vonis hukuman mati.
Kemudian, dari 114 putusan hukuman mati di tahun 2021 penyumbang terbanyak adalah kasus narkotika yaitu 94 vonis. Sisanya terdiri dari 14 kasus pembunuhan dan enam terkait terorisme. Dari 114 vonis tersebut di antaranya 112 orang adalah pria dan dua wanita. Lalu, tujuh warga negara asing yang terdiri dari Pakistan, Iran, dan Yaman, dijatuhi hukuman mati karena kasus narkotika.
Ada penurunan tapi tidak signifikan. Ini bukan sesuatu yang harus diapresiasi karena memang angka ini justru cukup tinggi dan yang paling tinggi disumbang kasus narkotika," jelas Ari.
Masih kata Ari, masih tingginya vonis hukuman mati di Indonesia disebabkan antara lain besarnya stigma terhadap kasus narkotika. Lalu, adanya anggapan hukuman mati dapat menimbulkan efek jera tanpa didasari kebijakan rasional yang berbasis bukti.
Kemudian, fenomena penal populism (kebijakan hukuman keras bersama tren sikap masyarakat untuk kepentingan politis semata) dengan tujuan untuk memperoleh simpati dari masyarakat.
"Terakhir adalah interpretasi subjektif dalam Pasal 6 (2) Konvensi Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang memasukkan kasus narkotika sebagai kejahatan luar biasa sehingga dapat dimaklumi untuk dijatuhi hukuman mati," ucapnya.
Atas hal tersebut, Amnesty International pun memberikan sejumlah rekomendasi yakni pemerintah Indonesia untuk segera meresmikan moratorium dan menerapkan komutasi bagi terpidana mati. Selanjutnya, Kementerian Luar Negeri dengan Komisi I DPR RI untuk segera meratifikasi Protokol Opsional ke-2 ICCPR yang bertujuan menghapuskan hukuman mati.
Kemudian, DPR RI diminta untuk menghapuskan hukuman mati dalam RKUHP dan undang-undang terkait lainnya.
"Lalu, lembaga negara yang tergabung dalam mekanisme pencegahan nasional anti penyiksaan untuk mengaktifkan mekanisme pemantauan pada tempat-tempat penahanan. Itu untuk melihat kondisi terpidana mati khususnya dalam konteks pencegahan penyiksaan dalam deret tunggu," pungkas Ari.
Hukuman Mati Beri Efek Jera?
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti, mengatakan tidak sepenuhnya hukuman mati yang diberikan terhadap para terpidana akan memberikan efek jera. "Sesungguhnya belum pernah ada bukti. Tidak ada efek jera yang berhasil dibuat bahwa hukuman mati memperkecil tindak kriminalitas," katanya.
Bukan hanya terkait alasan prinsipil, situasi penegakan hukum di Indonesia juga menjadi argumen tambahan untuk menolak hukuman mati. "Ternyata aparat penegak hukum juga tidak taat hukum acara. Belum ada pembaharuan KUHP sehingga belum ada model penghukuman modern yang masuk," tandas Bivitri.