Jakarta -Walau Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak uji materi terkait ganja, namun Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bakal merelaksasi ganja untuk keperluan medis melalui revisi undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Bahkan peluangnya dianggap masih sangat besar.
“Upaya relaksasi ganja medis, tentunya tidak berakhir seiring dengan putusan MK kemarin,” ujar Anggota Komisi III DPR Arsul Sani.
Menurut dia, MK berpendapat bahwa pasal tersebut memiliki open legal policy atau kebijakan hukum terbuka yang dapat diartikan dikembalikan kepada pembentuk UU dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI.
“Tetapi, tidak berarti pasal itu tidak bisa diubah. Karena MK berpendapat itu merupakan open legal policy yang artinya dikembalikan kepada pembentuk UU dalam hal ini Pemerintah dan DPR RI,” katanya.
Anggota Komisi III, Johan Budi Sapto Pribowo juga berpendapat senada. Politikus PDIP itu mengatakan, sebagai upaya tindak lanjut dari putusan MK, pihaknya akan melakukan pembahasan relaksasi ganja medis tersebut dengan menggandeng Badan Narkotika Nasional (BNN), serta para ahli lainnya.
“Kami mengundang beberapa pihak terkait seperti BNN, pakar dan lainnya. Banyak yang harus dibahas sedetail mungkin apalagi terkait syarat dan manfaatnya,” ungkapnya.
Menurut Johan Budi, upaya relaksasi ganja medis di revisi Undang-undang Narkotika, harus melakui kajian mendalam. Proses itu tentunya membutuhkan waktu yang cukup lama.
“Pembahasan akan meliputi golongan ganja, penggunaannya, tugas penegak hukum, pengelompokkan jenis narkotika, dan lainnya lagi,” rinci Johan.
Untuk itu, ia meminta kepada masyarakat agar menunggu dengan tenang keputusan Pemerintah terkait pengguanaan ganja medis.
“DPR akan mengutamakan kepentingan masyarakat. Namun kembali lagi pada pembuatan UU, nantinya bisa bermanfaat atau tidak dalam penggunaanya,” dEmi kian kata Johan Budi.
Sebelumnya, MK menolak uji materi Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. Itu terkait penggunaan ganja medis untuk kesehatan.
Gugatan itu perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020 itu diajukan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).