JAKARTA - Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid, MA., mendesak Kementerian Sosial agar serius melakukan pembenahan internal Kemensos. Khususnya dalam urusan penyaluran bantuan sosial. Baik terkait validasi data maupun ketepatan sasaran. Keseriusan Kemensos, ini menurut Hidayat sangat penting agar keterlibatan PPATK dalam pembentukan Satgas pengawasan Filantropi, berjalan efektif.
HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid mengingatkan, hal itu harus menjadi prioritas sebelum akhirnya melakukan pembenahan untuk aspek yang lebih luas. Seperti menggandeng PPATK untuk pengawasan lembaga filantropi.
“Sudah banyak temuan berbagai lembaga pengawas seperti BPK, PPATK, KPK, dan BPKP, terkait penyaluran bansos. Baik soal validasi data maupun ketepatan sasaran, tapi masalah sejenis masih terus terjadi. Itu harus jadi perhatian serius, agar efektif hadirkan kepercayaan Rakyat dan kesuksesan program, ketika Kemensos mau menjangkau pembenahan yang lebih luas," jelasnya.
"Bila itu tidak dijalankan maksimal, bahkan tanpa sanksi hukum, Publik akan sulit mempercayai niat baik, bahkan mencurigai adanya ketidakadilan dan ketidakwajaran karena di dalam internal Kemensos sendiri terus muncul beragam permasalahan yang dinilai merugikan negara hingga Triliunan Rupiah,” demikian disampaikan HNW dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (30/7/2022).
Hidayat lantas memberi contoh, BPK melaporkan temuan terbaru sesudah muncul masalah terkait salah satu lembaga filantropi yang sempat diberikan sanksi oleh Kemensos. Pada 28 Juli 2022, BPK melaporkan temuan penyelewengan bansos dan ketidak tepatan sasaran.
Seperti ketidaksesuaian data penerima, adanya ASN dan orang kaya yang ikut menerima bansos. Menurut BPK penyelewengannya diperkirakan sekitar 2,5% dari total penyaluran bansos. Atau mencapai Rp 3 Triliun. Sebelumnya dalam laporan IHPS II Tahun 2021 BPK juga menemukan KPM yang tidak terdata di DTKS, sudah dinonaktifkan, bahkan meninggal. NIK invalid, dan penyaluran bansos ganda yang membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 Triliun.
Bahkan, Rp 600 Miliar dari Rp 6 Triliun temuan BPK terkait bansos pada Laporan Kementerian Sosial tahun 2021 belum diselesaikan oleh Kemensos hingga hari ini. Pada kasus itu, sejumlah Rp 200 Miliar di antaranya merupakan penahanan pengembalian dana bansos gagal salur oleh sejumlah bank Himbara. Angka dana ditahan tersebut awalnya berjumlah Rp 1,1 Triliun, sangat jauh lebih besar dari dugaan penyimpangan anggaran yang dituduhkan terjadi di salah satu lembaga filantropis.
“Pada kasus dugaan penyelewengan dana lembaga filantropi yang tidak bersumber dari APBN, seperti ACT sebesar Rp 34 Miliar, Kemensos membuat satgas dengan menggandeng PPATK, maka pembenahan terkait dana bansos yang bersumber dari APBN, dengan nominal dan kerugian keuangan negaranya mencapai triliunan rupiah, mestinya lebih mendesak dan diprioritaskan oleh Kemensos. Kemensos seharusnya menggandeng aparat penegak hukum untuk melakukan penagihan pada bansos yang gagal salur dan tidak tepat sasaran,” sambungnya.
HNW menilai Kemensos telah berlaku tidak adil, di mana Mensos (ad interim) sempat melakukan sanksi pencabutan izin terhadap ACT, namun menghadapi perbankan yang menahan uang negara sebesar Rp 1,1 Triliun, Kemensos hanya melayangkan surat saja, tanpa sanksi apalagi pembekuan izin dan perampasan aset, sebagaimana diberlakukan terhadap ACT.
Padahal ada aturan yang mestinya dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan oleh Kemensos. Yaitu aturan terkait lembaga filantropi, baik dalam UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB). Maupun Permensos Nomor 8 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PUB. Aturan tersebut tegas menyebut sejumlah langkah yang seharusnya dilakukan oleh Kemensos. Yakni, pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
“Jika sebuah lembaga dikatakan melakukan penyelewengan hingga izinnya dicabut, pertanyaannya bagaimana tanggung jawab Kemensos dalam membina dan mengawasi lembaga-lembaga tersebut. Apakah sudah dilakukan dengan sebenarnya? Dan bagaimana mekanisme perbaikan bila ditemukan masalah, sebelum akhirnya dicabut izinnya? Sudahkah itu dilakukan dengan sebenarnya?” lanjut HNW.
Misalnya Permensos 8/2021 yang ditandatangani sendiri oleh Mensos Risma. Ada ketentuan bahwa perizinan dilakukan 3 bulan sekali. Artinya seandainya tugas dan fungsi ini dilaksanakan dengan benar, bisa saja kasus seperti di ACT segera terdeteksi dan langsung dikoreksi sehingga tidak memunculkan masalah terhadap lembaga filantropi.
Tetapi, ketika Kemensos membiarkan dengan memberikan izin di sepanjang waktu dugaan terjadinya kasus penyelewengan yang terjadi pada lembaga filantropi ACT, patut diduga terjadinya kelemahan penegakan aturan, perilaku tidak amanah, dan malah mungkin mal-administrasi di internal Kemensos.
Aturan mengenai pencabutan dan/atau pembatalan izin PUB juga hanya didasarkan pada alasan subjektif, di antaranya yakni kepentingan umum dan pelaksanaan PUB yang meresahkan dan menimbulkan permasalahan di masyarakat. Oleh karena itu Kemensos perlu melakukan pembenahan internal, taat laksanakan aturan, dan perbaiki aturan yang masih bias, subyektif dan bisa jadi pasal karet.
“Saat ini lembaga filantropi yang kasusnya mencuat dan ditindak secara administrasi dan hukum ada 1. Padahal, berdasarkan data Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) setidaknya ada 88 lembaga filantropi yang tercatat oleh mereka, dan kemungkinan besar yang di luar itu lebih banyak lagi. Jika Kemensos tidak serius menyiapkan kapasitas internal yang memadai, bagaimana mungkin Kemensos bisa melakukan pengawasan untuk aspek yang jauh lebih luas tersebut,” ujar HNW.
Bila tidak segera dibenahi, akhirnya yang dilakukan adalah kebijakan tergesa-gesa, tidak adil dan tidak menyelesaikan masalah. Dan juga tidak menghadirkan kepercayaan publik, ketika Kemensos sibuk menggandeng pihak lain untuk urusi masalah filantropi yang tidak merugikan keuangan negara, dengan membiarkan terus berulang terjadinya data bansos Kemensos yang tidak valid dan tidak tepat sasaran.
"Apalagi data bansos Kemensos yang tidak valid dan tidak tepat sasaran, itu mengakibatkan terjadinya temuan yang selalu dilaporkan oleh BPK ke publik. Yang pasti nilainya berpuluh kali lipat dari yang dituduhkan kepada salah satu lembaga filantropi,” pungkasnya.