JAKARTA - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo diminta menjadi dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya. Diharapkan bisa menjembatani sekaligus memberikan pengetahuan kepada mahasiswa, antara keilmuan sosial dan politik dari sisi teori, dengan realitanya di lapangan.
Sebelumnya, Bamsoet juga diminta menjadi Dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jawa Timur, mengajar materi kuliah seputar ekonomi dan kewirausahaan.
Serta telah dipercaya menjadi dosen tetap dengan perjanjian di kampus FISIP Universitas Terbuka, mengajar dua mata kuliah.
"Sebuah kehormatan diundang bergabung dalam keluarga besar Universitas Brawijaya. Mempersiapkan lahirnya para ilmuan sosial dan politik yang tidak hanya kuat secara teori, melainkan juga kuat secara praktik. Tidak hanya memiliki pengetahuan tentang ilmu sosial dan politik, melainkan juga memiliki pengetahuan tentang wawasan kebangsaan," ujar Bamsoet usai menerima jajaran dekanat FISIP Universitas Brawijaya, di Jakarta, Selasa (9/8/22).
Bamsoet mengapresiasi dukungan jajaran FISIP Universitas Brawijaya terkait pentingnya Indonesia memiliki Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai bintang penunjuk arah pembangunan. Sejalan dengan aspirasi dari berbagai kalangan intelektual lainnya seperti Forum Rektor Indonesia hingga Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bahkan juga sejalan dengan dukungan dari berbagai organisasi kemasyarakatan, seperti Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Pengurus Pusat Muhammadiyah, serta Majelis Tinggi Agama Konghucu.
"MPR RI dalam dua kali masa jabatan, periode 2009-2014 dan periode 2014-2019, telah membuat dua Keputusan MPR RI yang pada prinsipnya merekomendasikan penyusunan PPHN. MPR RI periode 2019-2024 telah menyelesaikan rekomendasi tersebut dengan menyelesaikan rancangan PPHN. Sekaligus memiliki terobosan hukum agar PPHN bisa dihadirkan melalui Konvensi Ketatanegaraan, yang akan dibahas lebih lanjut oleh Panitia Ad Hoc yang akan dibentuk dalam Rapat Paripurna MPR RI pada awal September 2022," jelas Bamsoet.
Pada saat Indonesia dipimpin Presiden Soekarno, Indonesia memiliki Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana. Di pemerintahan Presiden Soeharto memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Sejak era Reformasi, pola pembangunan berubah karena berdasarkan visi dan misi presiden-wakil presiden terpilih, yang dielaborasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 5-10 tahun. Dampak negatifnya menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya.
"Untuk menghadapi Revolusi Industri 5.0 dan berbagai tantangan zaman kedepan, Indonesia perlu memiliki rencana pembangunan jangka panjang, sebagaimana negara-negara besar dunia lainnya," terang Bamsoet.
Bamsoet juga mengajak kalangan pendidikan tinggi untuk mengkaji urgensi menghadirkan kembali utusan golongan dalam keanggotan MPR RI. Sebagaimana telah diaspirasikan oleh berbagai kalangan seperti PP Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, dan Majelis Tinggi Agama Khonghucu. Berbagai kalangan menilai, kehadiran utusan golongan bisa menjadikan MPR RI sebagai lembaga perwakilan yang inklusif, yang mengikutsertakan seluruh unsur dalam masyarakat Indonesia yang plural.
"Kehadiran utusan golongan juga membuat kepentingan masyarakat yang tidak terwakili oleh partai politik dan daerah, bisa terakomodir. Termasuk golongan yang karena aturan undang-undang, hak pilih dan/atau hak dipilihnya ditiadakan. Karenanya, wacana menghadirkan kembali utusan golongan sebagai anggota MPR RI, merupakan wacana menarik yang perlu dielaborasi lebih jauh," pungkas Bamsoet.