JAKARTA - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid mengingatkan soal filantropi tentang pentingnya prinsip amanah, kehati-hatian, memahami dan melaksanakan seluruh aturan yang ada dalam kegiatan dan pengelolaan lembaga filantropi. Prinsip-prinsip itu diperlukan agar tidak terjadi lagi kasus seperti yang disangkakan kepada lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT).
“Kasus yang disangkakan kepada ACT ini menjadi kritik dan ibroh (pelajaran) yang sangat berharga buat semua pihak termasuk lembaga-lembaga filantropi sejenis lainnya, agar menjalankan prinsip-prinsip amanah, kehati-hatian, memahami dan melaksanakan seluruh aturan yang ada. Agar jangan salah langkah, akhirnya jadi fitnah, dan merugikan nama baik lembaga filantropi, mencederai kepercayaan donatur dan merugikan warga penerima manfaat,” kata Hidayat Nur Wahid ketika menerima pengurus Yayasan Wihdatul Ummah periode 2022-2027, di Ruang Kerja Wakil Ketua MPR, Gedung Nusantara III Lantai 9, Kompleks MPR/DPR/DPD, Jakarta, Rabu(24/8/2022). Pengurus Yayasan Wihdatul Ummah Jakarta Selatan, dipimpin Ishaq Maulana (Ketua Yayasan) didampingi beberapa pengurus lainnya.
Dalam pertemuan itu, Ishaq Maulana menyampaikan program kerja Yayasan Wihdatul Ummah. Salah satunya adalah meng-upgrade yayasan ini untuk juga menjadi lembaga amil zakat. Sejak berdiri pada tahun 2016, Yayasan Wihdatul Ummah yang sudah mendapatkan kepercayaan masyarakat, belum menjadi lembaga amil zakat. Saat ini Yayasan Wihdatul Ummah sedang memproses dengan melengkapi persyaratan dan dokumen untuk menjadi lembaga amil zakat. “Kami ingin meluaskan kinerja Yayasan dengan meng-upgrade agar juga menjadi lembaga amil zakat” tutur Ishaq Maulana.
Tetapi Hidayat Nur Wahid mengingatkan agar upaya Yayasan Wihdatul Ummah untuk mengupgrade diri menjadi lembaga amil zakat harus benar-benar dilakukan secara profesional dan amanah serta taat hukum agar lembaga filantropi benar-benar membawa manfaat bagi rakyat dan tidak terulang lagi kasus seperti yang disangkakan kepada ACT.
“Kasus ACT ini mestinya menjadi koreksi dan pelajaran bagi semua pihak termasuk yang bergerak di bidang filantropi. Kehadiran Yayasan Wihdatul Ummah agar tidak menjadi bagian dari masalah, melainkan hadir sebagai bagian dari solusi atasi masalah kemanusiaan dan lainnya. Kasus ACT telah menjadi masalah bagi banyak pihak, seperti organisasi, penerima manfaat, keluarga, anak-anak, dan lainnya. Semua terdampak akibat masalah yang disangkakan terjadi dengan beberapa pimpinan (ACT), dan Kementerian Sosial (Kemensos) yang diduga tidak melaksanakan fungsi pengawasan dan pembinaannya dengan maksimal,” papar Hidayat.
Menurut Hidayat, kasus ACT mestinya bisa dikoreksi dan dihindari dari awal apabila Kemensos menjalankan fungsi pengawasan atau supervisi dengan baik terhadap lembaga-lembaga filantropi termasuk terhadap ACT. Karena Kemensos harusnya menjalankan aturan yang sudah ada terkait lembaga filantropi, baik UU Nomor 9 Tahun 1961 tentang Pengumpulan Uang atau Barang (PUB) maupun Permensos Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan PUB yang malah ditandatangani oleh Mensos sendiri. Dalam aturan tersebut Kemensos diharuskan melakukan sejumlah langkah, yaitu pembinaan, pengawasan, pemantauan, dan evaluasi.
Dalam Permensos 8/2021 itu bahkan ada ketentuan perizinan dilakukan tiga bulan sekali. Seandainya tugas dan fungsi ini dilakukan dengan baik dan benar, mestinya kasus seperti di ACT itu bisa terdeteksi sejak dini dan langsung bisa dilakukan koreksi sehingga tidak berkelanjutan. Tetapi, bahwa ACT terus melakukan kegiatan yang disangkakan terjadi penyimpangan, itu menandakan Kemensos tidak menghentikan atau masih memberikan izin untuk kegiatan ACT, sampai akhirnya terungkap kasus penyimpangan yang disangkakan terjadi di sebagian pimpinan lembaga filantropi ACT.
“Seandainya Kemensos melakukan ketentuan UU dan Permensos dengan baik dan benar sejak awal, maka penyimpangan di ACT akan bisa dikoreksi sejak dini dan dimitigasi. Sehingga ketika ditemukan adanya dugaan penyimpangan, Kemensos bisa langsung melakukan koreksi dan perbaikan dengan mekanisme peringatan I, peringatan II, sebelum akhirnya izinnya dicabut atau dibekukan. Nah pengawasan, pembimbingan dan koreksi apa yang dilakukan Kemensos selama ini terhadap ACT sebelum akhirnya ACT dibekukan, dan beberapa pimpinannya diberikan sanksi-sanksi hukum itu?” tanya Hidayat yang juga anggota Komisi VIII DPR RI yang menjadi mitra dari Kemensos.
Bahkan, Hidayat menambahkan beberapa hari sebelum Kemensos membekukan ACT, pada 20 Juli 2022, BPK melaporkan temuan penyelewengan bansos dari Kemensos dan ketidaktepatan sasaran seperti ketidaksesuaian data penerima, adanya ASN dan orang kaya yang ikut menerima bansos. Menurut BPK, penyelewengan diperkirakan sekitar 2,5% dari total penyaluran bansos mencapai Rp 3 triliun dan dana itu berasal dari APBN. Sebelumnya, dalam laporan IHPS II Tahun 2021, BPK juga menemukan KPM yang tidak terdata di DTKS, sudah dinonaktifkan, bahkan meninggal, NIK invalid, dan penyaluran bansos ganda yang membuat kerugian negara hingga Rp 6,93 triliun.
“Selama 19 tahun ACT dikabarkan mengelola dana dari masyarakat bukan dari APBN sekitar Rp 2 triliun. Tetapi masalah muncul di tahun 2016, terjadi penyelewengan di ACT diduga sebesar Rp 34 miliar. Bandingkan dengan temuan BPK dalam penyimpangan penyaluran bansos yang merugikan negara hingga lebih dari Rp 3 triliun. Bagaimanapun kita menyesalkan terjadinya kasus di ACT yang harusnya tidak terjadi. Ini menjadi pelajaran penting bagi semua pihak termasuk bagi Kemensos dan lembaga-lembaga filantropi sejenis agar benar-benar melaksanakan semua aturan dan ketentuan hukum, dan agar semua pihak lebih amanah, lebih profesional, agar kehadirannya bermanfaat dan menjadi berkah bagi Rakyat dan tidak malah menjadi musibah dan masalah yang merugikan semua pihak,” pungkas Hidayat.