JAKARTA - Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia meminta pemerintah memprioritaskan penggunaaan anggaran negara pada hal-hal yang sangat prioritas, bukan sebaliknya digunakan untuk pembangunan proyek-proyek mercusuar yang dilakukan dalam situasi ketidakpastian global.
"Bagaimana anggaran pemerintah yang memang dalam serba keterbatasan ini, digunakan untuk hal-hal yang memang prioritas, sangat prioritas, bukan kepada hal-hal yang sifatnya itu proyek-proyek mercusuar," kata Achmad Rilyadi, Bendahara Umum Partai Gelora Indonesia, Rabu (24/8/2022) sore.
Hal itu disampaikan Achmad Rilyadi menanggapi rencana pemerintah menaikkan harga BBM pada pekan ini dalam Gelora Talk bertajuk `Siap-siap Harga BBM Melambung Lagi: Hidup Kian Mencekik, Kemana Rakyat Mengadu?
"Karena kondisi keuangan negara yang sedang dalam kondisi yang sangat pas-pasan itu, kita berharap pemerintah mempertimbangkan berbagai opsi-opsi, selain mengurangi subsidi konsumsi BBM," katanya.
Irel, sapaan akrab Achmad Rilyadi, mengatakan, jika pemerintah menempuh opsi untuk menaikkan harga BBM, maka akan membawa konsekuensi pada kenaikan harga kebutuhan pokok dan kenaikan harga-harga lainnya.
"Hal ini tentu akan semakin memberatkan masyarakat. Karena itu, apa yang dilakukan pemerintah sekarang, harus memberikan solusi yang betul-betul kompatibel dengan kondisi rakyat," ujarnya.
Mantan Anggota Komisi VII DPR ini berharap pemerintah segera membuat desain ketahanan energi baru terbarukan dalam rangka mengurangi penggunaan fosil sebagai sumber energi.
Sebab, kapasitas produksi kilang minyak (lifting) saat ini rendah, tidak sebanding dengan konsumsi yang tinggi, sehingga pemerintah harus mengimpor BBM untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
"Kenaikan harga minyak dunia ini bisa menjadi momentum mempercepat penggantian BBM dari fosil ini sebagai sumber energi diganti dengan energi terbarukan. Kita memerlukan desain ketahanan energi terbarukan sekarang," katanya.
Dalam diskusi ini, Ketua Komisi VII DPR RI Sugeng Suparwoto mengungkapkan, belum tentu ada kenaikan harga Pertalite dan Solar pada pekan ini maupun pekan depan.
"Belum tentu (ada kenaikan harga). Kita akan hitung, sedang kumpulkan berapa windfall profit kenaikan komoditas yang dinikmati negara itu berapa, apa masih bisa mengkompensasi," kata Sugeng.
Menurut dia, penyesuaian harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar akan berdampak melambungnya harga-harga barang atau inflasi. Kondisi ini, akan semakin memberatkan kehidupan kaum marjinal.
"Ini harus dihitung betul, dengan asumsi perhitungan bahwa kenaikan Pertalite 10% saja, bisa berdampak terhadap inflasi 0,5%, kalau ditambah Solar bisa 0.8%. Disatu sisi rakyat miskin harus diselamatkan, dan anggaran negara tidak juga jebol," terangnya.
Politisi Partai Nasdem ini mengkrtik keras upaya Menko Maritim dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Panjaitan yang mengatakan, bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan mengumumkan kenaikan harga BBM Pertalite pada pekan ini.
"Itu statement yang ceroboh, tidak manusiawi, merugikan semua orang. BBM belum naik saja, harga-harga sudah naik hari ini dan terjadi rush di SPBU-SPBU gara-gara pengumuman saudara Luhut Panjaitan. Itu kritik keras saya," katanya.
Sugeng menegaskan, kebutuhan BBM Pertalite saat ini hanya sampai Oktober 2022. Sehingga perlu dicarikan solusi yang benar-benar komprehensif untuk menyelamatkan inflasi, keuangan negara dan BUMN yang dberikan penugasan.
Komisi VII DPR, lanjut Sugeng, mengusulkan harga Pertalite sekarang Rp7.650 per liter akan disesuaikan di harga Rp10.000 per liter. Begitupun harga solar sekarang Rp5.510 per liter akan menjadi sektiar Rp7.000 per liter.
"Paling banter naik maksimum 30% menjadi Rp10.000 per liter untuk Pertalite. Sedangkan pengguna motor, angkot dan solar untuk keperluan angkutan logistik masih tetap, harganya seperti sekarang. Kalau angkutan industri, pakai harga baru,” tuturnya.
Sugeng mengatakan, anggaran subsidi tentunya tidak cukup dengan mempertimbangkan dinamika perkembangan kondisi riil ekonomi. Apalagi 70% BBM Subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat yang tidak berhak.
Harga ICP di dalam APBN 2022 dipatok 63 dollar AS per barrel kenyataannya sekarang 104 dollar AS per barrel. Sementara nilai tukar rupiah yang diperkirakan Rp 14.350 juga bergerak melemah jadi Rp14.500 per dollas AS.
"Jadi Indonesia memang rentan terhadap gejolak harga energi. Mayoritas untuk memenuhi kebutuhan ini mengacu pada harga impor dan tidak berada dikendali pemerintah," katanya.
Sementara itu, Satya Widya Yudha, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) mengatakan, setidaknya ada tiga alternatif mengenai BBM Subsidi.
Alternatif, pertama yakni menambahkan kuota BBM Subsidi hingga mencukupi sampai akhir tahun apabila pemerintah berkecukupan. Kedua, melakukan pembatasan distribusi BBM subsidi karena belum efektif menyasar rakyat kurang mampu.
Ketiga menyesuaikan harga BBM bersubsidi dengan mempertimbangkan berbagai aspek kehidupan masyarakat. "Untuk ini sebenarnya badan usaha sudah menginisiasi pembatasan dengan pengguna mypertamina. Hanya saja, payung hukum dari pembatasan itu belum ada," tuturnya.
Menurut Satya, sudah Rp502 triliun dana APBN untuk subsidi energi termasuk dengan kompensasi. Sedangkan tahun depan, subsidi energi ini juga ditekan hingga sekitar Rp302 triliun hingga akihr tahun.
"Bagaimana berupa untuk anggaran Rp502 triliun ini bisa sampai hingga akhir tahun," kata mantan Mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR ini.
Semakin mengecilnya anggaran subsidi ini seiring kembalinya penerapan deficit anggaran menuju maksimal 3%. Dengan begitu, belanja diatur lebih ketat dengan mengedepankan penggunaan kendaraan listrik dan biofuel.
Kedepannya, lanjut Satya, penggunaan BBM fosil ini terus menurun. "Moda transportasi publik juga harus ditingkatkan, bila perlu gratiskan," katanya.
Sedangkan pengamat Migas & Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menuturkan, subsidi BBM hingga sekarang ini masih belum tepat sasaran bagi golongan ekonomi kelas bawah.
Didalam BPS ukuran masyarakat miskin apabila berpenghasilan dibawah Rp400 ribu per bulan. "Kalau yang disubsidi adalah pemakai motor, kan menjadi pertanyaan. Mereka ini para pejalan kaki, semestinya, tak menggunakan motor," Komaidi.
Menurutnya, subsisi BBM seharusnya menyasar kepada orang bukan barang. Bagi masyarakat miskin tetap membeli BBM dengan harga sama, namun disubsidi dengan menggunakan kode tertentu.
"Tiga besar penggunanya yakni transportasi, industri dan niaga serta rumah tangga. Kalau ini mampu disasar kemungkinan angka subsidi tidak sebesar ini," pungkasnya.