• News

Bencana Sepakbola Indonesia, Komnas HAM Pertanyakan Penggunaan Gas Air Mata

Yati Maulana | Senin, 03/10/2022 23:30 WIB
Bencana Sepakbola Indonesia, Komnas HAM Pertanyakan Penggunaan Gas Air Mata Lilin dan bunga berbentuk pita usai kerusuhan sepakbola dinyalakan warga di Denpasar, Bali, 2 Oktober 2022. Foto: Antara

JAKARTA - Pemerintah Indonesia pada hari Senin membentuk tim independen untuk menyelidiki kerusuhan di stadion sepak bola yang menewaskan 125 orang, termasuk 32 anak-anak. Komisi Hak Asasi Manusia mempertanyakan penggunaan gas air mata oleh polisi.

Penonton yang panik makin terdesak saat mencoba melarikan diri dari stadion yang penuh sesak di Malang, Jawa Timur, pada hari Sabtu setelah polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan penggemar dari tim tuan rumah yang kalah yang berlari ke lapangan pada akhir pertandingan liga domestik.

Setidaknya 32 dari korban adalah anak-anak berusia antara 3 dan 17 tahun, Nahar, seorang pejabat di kementerian pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, mengatakan kepada Reuters. Pejabat itu sebelumnya menyebutkan jumlah kematian anak-anak di 17.

Menhukham Mahfud MD mengatakan pemerintah akan membentuk tim pencari fakta independen, termasuk akademisi, pakar sepak bola dan pejabat pemerintah, untuk menyelidiki apa yang terjadi.

Tim akan bertujuan untuk mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas tragedi itu selama beberapa hari ke depan, katanya.

Pemerintah akan memberikan 50 juta rupiah sebagai kompensasi untuk setiap keluarga korban, sementara ratusan lainnya yang terluka akan dirawat secara gratis, tambahnya.

Polisi dan pejabat olahraga telah dikirim ke Malang untuk menyelidiki salah satu bencana stadion paling mematikan di dunia. Presiden Joko Widodo memerintahkan asosiasi sepak bola untuk menangguhkan semua pertandingan Liga 1 sampai penyelidikan selesai.

FIFA, badan pengatur sepak bola dunia, mengatakan dalam peraturan keamanannya bahwa senjata api atau "gas pengendali massa" tidak boleh digunakan dalam pertandingan.

"Jika tidak ada gas air mata mungkin tidak akan ada kekacauan," kata Choirul Anam, komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia, yang dikenal sebagai Komnas HAM, dalam jumpa pers, Senin.

Pada tahun 1964, 328 orang tewas dalam kecelakaan ketika Peru menjamu Argentina di Estadio Nacional di Lima.

Dalam bencana Inggris tahun 1989, 96 pendukung Liverpool dihancurkan sampai mati ketika kandang yang penuh sesak dan berpagar runtuh di Stadion Hillsborough di Sheffield.

Kekerasan dan hooliganisme telah lama menjadi ciri sepak bola Indonesia, terutama di tempat-tempat seperti ibu kota Jakarta, tetapi skala bencana hari Sabtu di kota di Jawa ini telah membuat komunitas kecil mati rasa.

"Saya dan keluarga tidak menyangka akan menjadi seperti ini," kata Endah Wahyuni, kakak dari dua anak laki-laki, Ahmad Cahyo, 15, dan Muhammad Farel, 14, yang tewas setelah terjaring huru-hara.

"Mereka suka sepak bola, tetapi tidak pernah menonton Arema secara langsung di stadion Kanjuruhan, ini adalah pertama kalinya mereka," tambahnya pada pemakaman saudara laki-lakinya pada hari Minggu, merujuk pada tim tuan rumah yang mereka dukung.

Harian Indonesia Koran Tempo memuat halaman depan hitam pada hari Senin, berpusat pada kata-kata "Tragedi Sepak Bola Kita" yang dicetak dengan warna merah bersama dengan daftar orang mati.

Tim tuan rumah Arema FC kalah 3-2 dalam pertandingan dari Persebaya Surabaya, meskipun pihak berwenang mengatakan tiket tidak diberikan kepada penggemar Persebaya karena masalah keamanan.

Mahfud mengatakan pada hari Minggu stadion telah terisi melebihi kapasitas. Sekitar 42.000 tiket telah dikeluarkan untuk stadion yang dirancang untuk menampung 38.000 orang, katanya.

Presiden Arema FC Gilang Widya Pramana yang menangis, meminta maaf pada hari Senin kepada para korban penyerbuan dan mengatakan dia siap untuk "bertanggung jawab penuh" atas peristiwa tersebut.

"Satu hasil pertandingan tidak layak dibayar dengan nyawa orang," kata Javier Roca, pelatih Arema FC.

Dalam sebuah pidato pada hari Minggu, Paus Fransiskus mengatakan dia telah berdoa bagi mereka yang kehilangan nyawa dan yang terluka akibat bencana.

FIFA, yang menyebut insiden itu sebagai "hari gelap bagi semua yang terlibat dalam sepak bola dan tragedi di luar pemahaman", telah meminta otoritas sepak bola Indonesia untuk melaporkan insiden tersebut.