JAKARTA - Di tengah masih peliknya persoalan mengenai pengelolaan tanah, kehadiran Bank Tanah yang dimaksudkan untuk menjalankan fungsi perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah, turut menghadirkan polemik di ruang publik.
Terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2021 tentang Badan Bank Tanah dan Peraturan Presiden Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Bank Tanah, masih menyisakan opini pro dan kontra di tengah masyarakat.
Paparan di atas disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo saat memberikan sambutan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar di Ruang Delegasi, Komplek Gedung MPR/DPR/DPD, Senayan, Jakarta, 1 Desember 2022.
FGD yang terselenggara berkat kerja sama MPR dengan Brain Society Center (BSC) siang itu bertema Kebijakan Bank Tanak Dalam Perspektif Konsep dan Implementasi Untuk Mewujudkan Keadilan Sosial Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945.
Hadir dalam FGD Guru Besar Hukum Agraria, Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Maria SW. Sumardjono; Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor, Prof. Dr. Endriatmo Sutarto; Ketua Dewan Pakar Brain Society Center (BSC), Prof. Dr. Didin S. Damanhuri; dan para narasumber seperti Prof. Dr. Endang Sutrisno, Dr. Irene Eka Sihombing, M. Ali Rahangiar, dan Notaris Osye Anggandari SH., MH.
Lebih lanjut Bambang Soesatyo mengungkapkan, pandangan yang pro mengedepankan argument bahwa pembentukan Bank Tanah memiliki urgensi di tengah intensitas kebutuhan tanah untuk pembangunan yang terus meningkat, sedangkan ketersediaan tanah semakin terbatas, harga tanah yang terus meningkat, belum optimalnya pemanfaatan tanah khususnya untuk kepentingan umum, dan masih maraknya praktik spekulan serta “penelantaran” tanah.
Pada banyak kasus, pembangunan infrastruktur public yang didedikasikan untuk kepentingan umum dan bernilai strategis, sering terkendala karena beberapa hambatan dalam penyediaan lahan, antara lain: ke-tidak-sesuaian lokasi lahan, adanya resistensi atau penolakan dari warga masyarakat, ke-tidakjelasan hak atas tanah, penentuan besaran ganti rugi yang tidak menemui titik temu, munculnya spekulan, dan lain-lain.
Ringkasnya, keberadaan Bank Tanah diperlukan sebagai instrument pemerintah untuk menjamin ketersediaan tanah bagi kepentingan umum, sosial, pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, serta reforma agraria.
Di sisi lain pandangan yang kontra menganggap kehadiran Bank Tanah dikhawatirkan hanya menjadi sebuah kemubaziran, dan akan tumpang tindih dengan tugas pokok dan fungsi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, yang juga memiiki tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan.
Dikatakan oleh Politisi Partai Golkar itu kehadiran Bank Tanah juga dipandang berpotensi disalahgunakan untuk melegitimasi penguasaan tanah masyarakat adat yang belum memiliki kepastian hukum, serta meningkatkan eskalasi konflik agraria.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara mencatat, pada tahun 2021 terdapat 13 laporan kasus perampasan wilayah adat dengan total luas 251 ribu hektar, dan berdampak pada 103 ribu jiwa.
Sebelummnya, Konsorsium Pembaruan Agraria juga mencatat bahwa sepanjang tahun 2020, terjadi 241 kasus konflik agraria dengan korban terdampak sebanyak lebih dari 135 ribu kepala keluarga, termasuk korban kekerasan 169 orang di mana 11 orang di antaranya meninggal dunia.
Dalam kurun waktu 2015 hingga 2020, jumlah konflik agraria di tanah air mencapai angka 2.288 kasus.
Di samping itu, kehadiran Bank Tanah juga “dicurigai” sebagai bagian dari agenda liberalisasi tanah di Indonesia, di mana orientasi keadilan sosial dalam pengelolaan agraria, dikesampingkan oleh sahwat ekonomi dengan menjadikan tanah sebagai sebuah komoditas.
Ditegaskan oleh Ketua DPR Ke-20 itu pada prinsipnya, kehadiran Bank Tanah harus menjadi bagian dari solusi untuk menjawab berbagai persoalan agraria, dan bukan menambah persoalan baru.
Perlu ada sinergi dan keseimbangan dalam pengelolaan agraria, baik sebagai penopang kebutuhan dasar rakyat, sebagai sumber perekonomian rakyat, maupun sebagai aset investasi pembangunan yang potensial.
“Saya juga perlu mengingatkan, bahwa sebagai negara agraris, keberpihakan kita kepada kepentingan petani adalah sebuah keniscayaan, apalagi mengingat besarnya peran dan kontribusi sektor pertanian dalam menopang kedaulatan pangan”, ujarnya.
“Di sisi lain, seiring dinamika dan perkembangan zaman, pengelolaan agraria untuk menangkap peluang investasi yang dapat menopang pembangunan nasional, harus bermuara pada sebesar besarnya kepentingan dan kesejahteraan rakyat," tambahnya.