Jakarta - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mempertanyakan narasi bahwa arah pembangunan negara sudah benar sebagaimana disampaikan Menteri BUMN, Erick Thohir. Pasalnya, narasi ini mendasarkan pada hasil survei tingkat kepuasan publik.
Lembaga Survei Indonesia pada 7–11 Januari 2023 menyebut 76,2 persen responden puas atau sangat puas terhadap kinerja Jokowi. Narasi ini menyelip banyak pertanyaan kritis yang pantas diajukan.
"Sejatinya ada indikator dan ukuran terarah dalam menilai kinerja. Kita perlu merujuk pada data-data statistik dan fakta empiris terkait keberhasilan kinerja itu. Dengan begitu, kita tidak terjebak pada klaim belaka,” ujar Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini.
Lebih lanjut Politisi Senior Partai Demokrat ini menilai ada banyak lembaga kredibel yang telah menyusun indeks dan ukuran kinerja pembangunan. PBB (2015) dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan membuat banyak kluster sebagai ukuran apakah pembangunan telah mencapai tujuannya yang berkelanjutan.
Hal ini terbagi ke dalam 17 kluster, mulai dari terhapusnya kemiskinan, pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi, berkurangnya kesenjangan, perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang tangguh. Sebanyak 17 kluster ini diperinci dalam banyak indikator spesifik.
Berbagai indikator keberhasilan pembangunan tersebut dikuantisifir dalam data statistik sebagai ukuran kinerja pembangunan dari tahun ke tahun.
Sebagai contoh beberapa indikator yang seringkali dipergunakan. Pertumbuhan ekonomi, misalnya, faktanya sepanjang pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi Indonesia secara rata-rata hanya mencapai angka 3,99 persen. Pada 2020, pertumbuhan bahkan terkontraksi -2,07 persen. Bandingkan sepanjang 2004-2014 yang rata-rata pertumbuhan mencapai 5,69 persen, pada 2011 bahkan pada angka 6,5 persen.
Untuk menilai kesejahteraan penduduk, PDB per kapita sepanjang pemerintahan Jokowi juga menyelip banyak catatan. Periode 2015-2021, rata-rata pertumbuhan PDB per kapita adalah 3,3 persen. Ini menandaskan bahwa meskipun kesejahteraan penduduk meningkat, namun lajunya rendah.
Jika dibandingkan dengan periode 2004-2014, laju PDB per kapita jauh lebih tinggi, yakni 11,1 persen. Jika pada era Jokowi arah pembangunan sudah benar, semestinya tingkat kenaikan PDB per kapita ini juga sangat akseleratif. Namun faktanya, pemerintah belum cukup berhasil dalam mendongkrak kemakmuran penduduk.
Syarief menilai, dengan rendahnya laju pertumbuhan dan PDB per kapita, tidak heran jika tingkat pengangguran dan kemiskinan juga masih tinggi. Sepanjang 2005-2014, rata-rata pertumbuhan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar -4,69 persen, artinya setiap tahun TPT menurun secara konsisten.
Sementara pada era Jokowi, sepanjang 2015-2022, rata-rata pertumbuhan TPT adalah 0,57 persen. TPT justru menunjukkan tren menaik. Begitu juga dengan laju kemiskinan pada era Jokowi yang hanya mampu menurun 0,61 persen, jauh lebih rendah ketimbang periode 2005-2014 yang lajunya menurun sebesar -2,54 persen.
Jadi tidak aneh jika TPT diakhir periode SBY mampu ditekan jadi 5,94, sementara pada 2021 naik kembali jadi 6,26. Tingkat kemiskinan sepanjang era SBY juga mampu ditekan dari 16,66 pada 2004 jadi 10,96 pada 2014. Pada Maret 2022, angka kemiskinan masih menyentuh angka 9,54.
Terkait kinerja pengelolaan fiskal, klaim keberhasilan pembangunan era Jokowi juga pantas dipertanyakan. Defisit APBN mencapai angka Rp 468 triliun sepanjang 2015-2023, jauh lebih tinggi dibandingkan periode 2004-2014 yang hanya Rp 119 triliun. Defisit APBN ini berkaitan dengan kinerja pajak dan utang pemerintah.
"Tidak aneh jika kinerja pajak pada era Jokowi hanya mencapai 87 persen, lebih rendah dari era SBY yang mencatat realisasi rata-rata 97,9 persen. Pada akhirnya pemerintah berutang dan menyisakan beban bagi generasi mendatang. Sepanjang 2015-2022, utang bertumbuh rata-rata sebesar 6,45 persen, berkebalikan dengan kinerja utang pada 2004-2014 yang tumbuh -7,61 persen," tuturnya.
Artinya, sepanjang pemerintahan SBY, jumlah utang terus berkurang, dari rasio utang sebesar 56,5 pada 2004 turun drastis menjadi 24,7 pada 2014. Berkebalikan dengan era Jokowi, yang jumlah utang semakin membengkak, dengan rasio sebesar 39,56 pada 2022.
“Dengan berbagai indikator pembangunan ini, apakah menjadi pantas mendasarkan kinerja pembangunan pada survei persepsi? Persepsi adalah opini, bukan fakta. Saya menilai kita perlu menyampaikan fakta apa adanya, mendasarkan pada ukuran yang baku dan presisi. Apresiasi kinerja memang sesuatu yang wajar dilakukan, namun jika hal itu didasarkan pada opini belaka, pemerintah hanya sebatas menyampaikan klaim. Padahal klaim tanpa fakta bukanlah bentuk edukasi publik yang baik, ” tutup Syarief.