Tangsel - Ketua MPR RI sekaligus Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Bambang Soesatyo meluncurkan buku ke-30 berjudul `PPHN Tanpa Amandemen`.
Buku ini ditulis berdasarkan disertasi Bamsoet, `Peranan dan Bentuk Hukum Pokok-Pokok Haluan Negara, sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan, dalam Menghadapi Industri 5.0 dan Indonesia Emas`.
"Ini merupakan buku ketiga karya saya yang fokus mengupas urgensi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Dua seri buku tentang PPHN terdahulu adalah, `Cegah Negara Tanpa Arah` dan `Negara Butuh Haluan`. Buku `PPHN Tanpa Amandemen` ditulis berdasarkan disertasi saya, dan alhamdulillah saya meraih predikat yudisial Cumlaude dengan IPK 4.0, pada Sidang Terbuka Promosi Gelar Doktor Bidang Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran di Bandung, 28 Januari 2023," ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan Peluncuran Buku `PPHN Tanpa Amandemen`, di Universitas Terbuka Convention Center, Tangerang Selatan, Selasa (21/3).
Turut hadir antara lain, Anggota DPR RI Darul Siska, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Ulla Nuchrawaty, Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2013-2015 Prof. Dr. Hamdan Zoelva, Ketua Dewan Pakar Brain Society Center Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Andi Irmanputra Sidin, serta Kepala Perpustakaan Nasional Ofy Sofiana. Hadir pula secara virtual para mahasiswa Universitas Terbuka dari berbagai wilayah Indonesia serta dari 45 negara dunia.
Bamsoet menuturkan, buku `PPHN Tanpa Amandemen` menjelaskan kebenaran ilmiah terkait konseptual PPHN sebagai payung hukum pelaksanaan pembangunan berkesinambungan dalam rangka menghadapi revolusi industri 5.0 dan Indonesia emas.
Mengingat para pendiri bangsa Indonesia sebetulnya sejak awal kemerdekaan telah menyiapkan haluan negara sebagai road map pembangunan masa depan bangsa.
Dengan menghadirkan kembali haluan negara yang kini diberi nomenklatur PPHN, dapat menjamin keselarasan dan kesinambungan pembangunan antara pusat dengan daerah, antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya, serta antara satu periode pemerintahan ke periode penggantinya.
"Sekaligus memastikan pembangunan tidak hanya dijalankan berdasarkan pada pelaksanaan dengan memanfaatkan uang rakyat melalui APBN. Tetapi, terlebih dahulu didasarkan pada perencanaan yang matang. Seperti rencana pembangunan ibu kota baru Indonesia (IKN) di Kalimantan Timur. Sehingga pelaksanaannya tidak akan mangkrak ditengah jalan," kata Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, PPHN bisa dihadirkan tanpa amendemen UUD NRI Tahun 1945. PPHN bisa dihadirkan melalui konvensi ketatanegaraan dengan menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan. Karenanya, diperlukan konsensus nasional untuk menyelenggarakan konvensi ketatanegaraan yang melibatkan delapan lembaga tinggi negara, termasuk lembaga kepresidenan.
"Jika sepakat melakukan konvensi, perlu dibentuk dan disusun substansinya. Konvensi ini kemudian dikuatkan dengan Tap MPR. Saat ini MPR masih memiliki kewenangan Tap MPR yang sifatnya keputusan (beschikking). Lebih baik lagi jika penjelasan pasal 7 ayat 1 huruf b pada UU Nomor 12 tahun 2012 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 15 Tahun 2019 ditiadakan atau dihapus, sehingga kekuatan Tap MPR yang bersifat regeling atau pengaturan, hidup kembali," urai Bamsoet.
Bamsoet menambahkan, PPHN merupakan dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan rakyat. Artinya, rakyat melalui wakil-wakilnya dalam lembaga MPR yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, berhak merancang dan menetapkannya.
Dokumen tersebut selanjutnya menjadi rujukan bagi presiden dan penyelenggara negara lainnya dalam menyusun berbagai program pembangunan sesuai kewenangannya masing-masing.
"Kehadiran PPHN membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi. Sekaligus mengingatkan pada gagasan pentingnya perencanaan pembangunan nasional sebagaimana dikemukakan oleh pendiri bangsa pada tahun 1947 yang terlihat dalam tujuh bahan-bahan pokok indoktrinasi. Tujuannya adalah mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, dan makmur," pungkas Bamsoet.
Buku terbaru ini melengkapi 29 judul buku yang telah ditulis Bamsoet sejak 1988 hingga tahun 2022. Diantaranya, `Rahasia Sukses dan Biografi Pengusaha Indonesia` (1988), `Mahasiswa dan Lingkaran Politik` (1989), `Kelompok Cipayung, Gerakan dan Pemikiran` (1990), `Mahasiswa & Budaya Kemiskinan di Indonesia` (1990), `Kelompok Cipayung, Pandangan dan Realita` (1991), `Masa Depan Bisnis Indonesia 2020` (1998), `Skandal Gila Bank Century` (2010), `Perang Perangan Melawan Korupsi` (2011), `Pilpres Abal-Abal Republik Amburadul` (2011).
Buku selanjutnya berjudul `Republik Galau` (2012), `Skandal Bank Century di Tikungan Terakhir` (2013), `Presiden dalam Pusaran Politik Sengkuni` (2013), `5 Kiat Praktis Menjadi Pengusaha No.1` (2013), `Indonesia Gawat Darurat` (2014), `Republik Komedi 1/2 Presiden` (2015), `Ngeri Ngeri Sedap` (2017), `Dari Wartawan ke Senayan` (2018), `Akal Sehat` (2019), `DPR Adem di Bawah Bamsoet` (2020), `Jurus 4 Pilar` (2020), `Solusi Jalan Tengah` (2020), `Save People Care for Economy` (2020), `Cegah Negara Tanpa Arah` (2021), `Negara Butuh Haluan` (2021), `Hadapi dengan Senyuman` (2021), `Indonesia Era Disrupsi` (2022), `Vaksinasi Ideologi Empat Pilar` (2022), `60 Tahun Meniti Buih di Antara Karang` (2022), dan `Catatan Kritis Bamsoet, Bunga Rampai Opini` (2022).