Tangsel - Ketua MPR RI sekaligus Dosen Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Terbuka Bambang Soesatyo menuturkan pengawasan pelaksanaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945.
Mekanismenya dapat dilakukan oleh DPR RI berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
Misalnya, presiden yang menggantikan Presiden Joko Widodo dalam RUU APBN mendatang tidak memasukan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, maka DPR RI bisa mengembalikan RUU APBN tersebut. Karena tidak sesuai dengan PPHN yang didalamnya turut mengatur tentang pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibukota Nusantara di Kalimantan Timur.
"Kehadiran PPHN dapat membuat pembangunan nasional kembali menemukan roh dan jati dirinya sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan konstitusi," ujar Bamsoet dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR RI dan Peluncuran Buku PPHN Tanpa Amandemen, di Universitas Terbuka Convention Center, Tangerang Selatan, Selasa (21/3).
"Di tahun 1947 Presiden Soekarno dan pendiri bangsa sudah mampu menggambarkan pentingnya pemanfaatan nikel di Sulawesi, Emas di Papua, Gas Alam dan Timah di Sumatera, serta Batubara di Kalimantan. Seharusnya saat ini kita juga harus mampu membuat perencanaan jangka panjang dalam memanfaatkan potensi kekayaan alam Indonesia untuk memakmurkan Indonesia," sambung Bamsoet.
Turut hadir antara lain, Anggota DPR RI Darul Siska, Anggota Komisi Kajian Ketatanegaraan MPR RI Ulla Nuchrawaty, Rektor Universitas Terbuka Prof. Ojat Darojat, Ketua Mahkamah Konstitusi RI Periode 2013-2015 Prof. Dr. Hamdan Zoelva, Ketua Dewan Pakar Brain Society Center Prof. Dr. Didin S. Damanhuri, Pakar Hukum Tata Negara Dr. Andi Irmanputra Sidin, serta Kepala Perpustakaan Nasional Ofy Sofiana. Hadir pula secara virtual para mahasiswa Universitas Terbuka dari berbagai wilayah Indonesia serta dari 45 negara dunia.
Bamsoet menjelaskan, keberadaan PPHN dapat menjaga kesinambungan pembangunan nasional. Karena mempunyai kekuatan hukum mengikat, meskipun terjadi peralihan kekuasaan lembaga eksekutif, yaitu Presiden, termasuk juga lembaga legislatif yaitu MPR, DPR dan DPD, bahkan hingga di tingkat pemerintahan yang paling kecil yaitu desa.
"Tidak seperti saat ini, karena ketiadaan peta jalan pembangunan, setiap presiden, gubernur, hingga walikota/bupati terpilih memiliki paradigma pembangunannya masing-masing. Jangankan beda partai, antara pemimpin yang satu partai saja terkadang bisa saling berseberangan. Masing-masing memiliki ego sektoral, sehingga pembangunan yang dilakukan antar periode pemerintahan terkesan tidak selaras dan tidak berkesinambungan," jelas Bamsoet.
Bamsoet menerangkan, Indonesia tidak boleh menjadi negara gagal dan mengalami kebangkrutan seperti Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara gagal, yaitu Pakistan, Mesir dan Bangladesh. Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai Kahar Fiscal.
"Karena itu, Indonesia perlu menghadirkan PPHN sebagai produk hukum yang dapat menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara dengan menggunakan kekuasaan subjektif superlatif yang pernah dimiliki MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara," tambah Bamsoet.
"Kewenangan subjektif superlatif itu juga penting untuk dapat mengatasi jika terjadi kondisi force majeure/kedaruratan, kondisi Kahar Fiscal dalam skala besar, hingga memutuskan jalan keluar atas suatu kebuntuan politik di bidang keuangan antar lembaga negara. Misalnya, siapa yang berhak memutuskan suatu perencanaan jangka panjang yang telah diputuskan tidak dapat diteruskan atau diubah," pungkas Bamsoet.