Jakarta - Al-Qur’an merupakan kitab suci kaum muslim. Allah Subhanahu wa Ta`ala menurunkannya sebagai pedoman hidup untuk seluruh manusia. Karenanya setiap mukmin dituntut untuk mempelajari, memahami dan mengamalkannya dalam semua aspek kehidupan.
Kita akan mengupas singkat kandungan makna dari surah (ke-16) An-Nahl ayat 120 dan 123. Kedua ayat ini menjelaskan tentang keimanan dan ketauhidan nabi Ibrahim `alaihissalam.
Allah ﷻ berfirman dalam surah An-Nahl (ke-16) ayat 120,
"Sungguh, Ibrahim adalah seorang imam (yang dapat dijadikan teladan), patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia tidak pernah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Allah)."
Ayat ini menjelaskan bahwa Nabi Ibrahim `alaihissalam adalah orang yang tidak pernah berbuat kesyirikan kepada Allah ﷻ walau hanya sekali. Kalau beliau `alaihissalam pernah mencari Tuhan sebagaimana yang disangkakan, berarti nabi yang mendapat predikat sebagai khalilullah (kekasih Allah) pernah syirik dan kafir, dan ini tidak sesuai dengan firman Allah ﷻ di atas.
Pemahaman yang lebih tepat adalah beliau `alaihissalam tidak pernah mencari tuhan, bahkan sejak kecil sudah berada di atas fitrahnya yang meyakini keberadaan Allah ﷻ.
Dalam surah (ke-16) An-Nahl ayat 123, Allah ﷻ berfirman,
"Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), "Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif, dan dia bukanlah termasuk orang musyrik (yang mempersekutukan Tuhan)."
Allah ﷻ menegaskan di akhir ayat tersebut bahwa nabi Ibrahim `alaihissalam bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Beliau `alaihissalam selalu dalam kondisi bertauhid, tidak pernah berbuat kesyirikan walau sekalipun.
Dalam bahasa Arab, huruf (لَمْ) dalam ayat di atas (وَلَمْ يَكُ) adalah harfu qolab yang fungsinya adalah mengubah bentuk kata kerja yang sedang berlangsung atau akan datang (fi’il mudhori’) menjadi bentuk yang menunjukkan kata kerja di masa lampau (fi’il madhi), sehingga terjemahan yang lebih tepat dari ayat ini adalah “Beliau tidak pernah sama sekali termasuk orang-orang musyrik”.
Nabi Ibrahim `alaihissalam tidak sebagaimana persangkaan sebagian orang yang meyakini bahwa beliau `alaihissalam pernah mencari tuhan. Mereka beranggapan bahwa beliau `alaihissalam melihat bintang dan menganggapnya sebagai tuhan, akan tetapi ketika bintang tersebut menghilang di pagi hari, beliau `alaihissalam pun tidak menganggapnya lagi sebagai tuhan.
Begitu pula ketika beliau `alaihissalam melihat rembulan dan matahari, yang awalnya dianggap sebagai tuhan, dan ketika semuanya menghilang pada waktu tertentu, maka dia `alaihissalam pun meninggalkannya dan tidak menjadikannya sebagai tuhan.
Bahkan Allah ﷻ menguatkan lagi dalam surah (ke-21) Al-Anbiya ayat 51,
“Dan sesungguhnya telah Kami anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya dan adalah Kami telah mengetahui (keadaan)nya.”
Berdasarkan keterangan dari Mujahid rahimahullah dalam menafsirkan ayat ini bahwa Allah ﷻ memberi hidayah kepada nabi Ibrahim `alaihissalam sejak beliau masih kecil.
Dan ini meluruskan pendapat yang menyatakan bahwa beliau `alaihissalam pernah dalam kondisi kafir lalu melakukan proses mencari Tuhan.
Nyatalah bahwa pemahaman yang lebih tepat bahwa nabi yang bergelar abul anbiya (bapaknya para nabi) tidak pernah mencari tuhan. Melainkan sejak kecil beliau `alaihissalam berada di atas fitrahnya, dan Allah Maha Mengetahui keadaan beliau `alaihissalam, kemudian diangkat dan dimuliakan menjadi nabi.
Semoga Allah ﷻ selalu memberikan hidayah dan menambah khazanah keilmuwan kaum muslim.
(Kontributor :Dicky Dewata)