• Oase

Fir`aun Menolak mukjizat Nabi Musa AS sebagai Bukti Kerasulannya

Rizki Ramadhani | Senin, 10/04/2023 11:14 WIB
Fir`aun Menolak mukjizat Nabi Musa AS sebagai Bukti Kerasulannya Ilustrasi salah satu mukzizat yang diberikan Allah SWT kepada Nabi Musa AS (foto:cahayaislam)

Jkarta - Kunci hidup dan komitmen seorang mukmin adalah memiliki sikap sami’na wa atho’na, yaitu mendengarkan perintah Allah Subhanahu wa ta`ala dan rasul-Nya serta mematuhinya. Kisah berikut ini tentang kesalahan memaknai konsep sami’na wa atho’na menjadi mengenai siapa yang harus didengarkan, apa yang harus ditaati, dan bagaimana batas kepatuhan tersebut.

Allah Azza wa Jalla menceritakan dalam banyak ayat di surah Asy-Syu’ara tentang percapakan, perdebatan dan saling mengadu argumentasi antara Fir’aun dan Nabi Musa `alaihissalam. Allah Azza wa Jalla  juga menyebutkan hujjah-hujjah (argumentasi) yang ditegakkan (disampaikan) oleh kalîmullah Musa `alaihissalam kepada Fir’aun. Baik hujjah yang bersifat maknawi dan hujjah yang bersifat hissi (yang bisa diindra).

Fir’aun yang tidak mampu membantah nabi Musa `alaihissalam menjadi murka. Dia mengancam akan memenjarakan nabi yang berasal dari bani Israil ini jika beliau `alaihissalam masih menyembah Tuhan selain dirinya.

Nabi yang bergelar ulul azmi ini pun tidak menyerah dan terus berdakwah. Beliau `alaihissalam menawarkan untuk memperlihatkan mukjizat sebagai bukti kerasulannya. Fir’aun pun terpancing oleh rasa penasarannya dan menantangnya.

Nabi Musa `alaihissalam menunjukan mukjizatnya. Beliau `alaihissalam melemparkan tongkatnya di hadapan Fir’aun dan para pembesarnya. Tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular yang nyata. Beliau `alaihissalam juga menarik tangannya dari dalam bajunya, maka tiba-tiba tangan itu menjadi putih bersinar.

Kedua mukjizat ini membuat seluruh hadirin terkejut dan terkesan dengan keajaiban ini. Namun Fir’aun berkelit dengan menuduh nabi Musa `alaihissalam adalah seorang penyihir ulung. Tidak cukup sampai di situ, Fir’aun memprovokasi para pemuka suku Qibthi. Dia mengatakan,

Dia hendak mengusir kalian dari negeri kalian dengan sihirnya; karena itu apakah yang kalian sarankan (untuk kita perbuat terhadapnya)?” (QS. Asy-Syu’ara [26] : 35).

Dalam Tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa para pemuka suku Qibthi pun terprovokasi. Mereka mengusulkan agar digelar pertarungan besar antara nabi Musa `alaihissalam melawan para penyihir yang ulung di negeri Mesir. Fir’aun pun menyetujui usulan tersebut. Maka keputusan memenjarakan nabi Musa dan nabi Harun `alaihimus salam pun dibatalkan.

Kemudian, nabi Musa `alaihissalam dengan tegas menentukan waktu dan tempat penyelenggaraan pertarungan tersebut. Berdasarkan Al-Qur’an surah (ke-20) Thaha ayat 59, dikisahkan bahwa

"Dia (Musa) berkata, "(Perjanjian) waktu (untuk pertemuan kami dengan kamu itu) ialah pada hari raya dan hendaklah semua orang dikumpulkan pada pagi hari (waktu dhuha).""

Marilah kita renungi firman Allah ﷻ dalam surah (ke-27) An-Naml ayat 14,

Dan mereka mengingkarinya karena kezaliman dan kesombongan (mereka) padahal hati mereka meyakini (kebenaran)nya. Maka perhatikanlah betapa kesudahan orang-orang yang berbuat kebinasaan.”

Semoga Allah ﷻ menjadikan kita sebagai mukmin yang selalu bersikap sami’na wa atho’na, yaitu mendengarkan perintah Allah ﷻ dan rasul-Nya serta mematuhinya dengan tunduk dan merendahkan diri.  (Kontributor :Dicky Dewata)