JAKARTA - Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid (Gus Jazil) mengatakan, pelaksanaan demokrasi di Indonesia tengah mengalami percobaan yang tidak kecil. Ali-alih melaksanakan sila-sila Pancasila, demokrasi di Indonesia malah berubah menjadi transaksional. Melahirkan polarisasi di tengah masyarakat, dan menimbulkan renggangnya kohesi sosial. Juga, memantik narasi-narasi yang kurang sesuai, seperti politik identitas.
Penyimpangan dalam demokrasi itu, menurut Gus Jazil, terjadi karena masyarakat belum siap melaksanakan demokrasi. Faktor ekonomi dan pendidikan, menyebabkan pilihan masyarakat terhadap para calon, tidak berdasarkan masalah visi dan misi. Tetapi lebih kepada gizi yang dibawa dan diberikan. Dan itu membuat, salah satu tujuan demokrasi, yaitu berkontribusi meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum tercapai.
“Pilihan kita untuk berdemokrasi, itu sudah benar. Tetapi, budaya dan kehidupan kita, yang belum siap untuk menopang demokrasi. Mestinya, dalam berdemokrasi itu pendidikan dan kondisi ekonomi masyarakatnya sudah bagus dulu. Sehingga saat para calon melakukan kampanye, yang ditanya adalah visi dan misinya, bukan gizinya,” kata Gus Jazil.
Hal tersebut Gus Jazil sampaikan saat menjadi narasumber pada diskusi Empat Pilar, dalam rangka Peringatan Hari Konstitusi dan HUT ke-78 MPR RI, di Ruang Media Center MPR DPR dan DPD RI, Rabu (23/8/23).
Menyangkut Demokrasi Konstitusional yang menjadi tema diskusi tersebut, Jazilul Fawaid mengatakan bahwa yang terpenting dalam demokrasi adalah konstitusi atau hukum. Kalau hukum sudah dipermainkan berarti sudah bukan demokrasi. Jika hukum tidak bisa berlaku adil, maka jangan tanya soal demokrasi.
Pernyataan serupa disampaikan Anggota MPR RI F-PKS Nasir Djamil. Menurutnya, demokrasi konstitusional ialah demokrasi yang sesuai dengan konstitusi. Bahkan, kalau sampai terjadi penyimpangan terhadap konstitusi, dipastikan akan terjadi keributan. Yang juga penting dalam pelaksanakaan demokrasi konstitusional, kata anggota MPR dapil Aceh ini, adalah kebebasan dan kesetaraan.
“Tetapi, demokrasi bukan berarti sebebas-bebasnya, harus diatur, karena kalau tidak akan kebablasan. Dan pengaturannya sama dilakukan sesuai hukum yang berlaku,” tutur Nasir Djamil.
Menyangkut kondisi politik terkini, menurut Nasir Djamil koalisi menuju Pilpres masih sangat terbuka untuk berubah. Bukan hanya keluar dan berpindah ke koalisi lain, tetapi juga terbuka kemungkinan seorang capres rela menjadi cawapres, semua masih dinamis.
“Pertemuan para elit partai, masih akan terus terjadi, perubahan koalisi juga masih terbuka lebar. Mudah-mudahan, ini bisa membuat Masyarakat sadar bahwa dalam pemilu tidak perlu ada kekerasan. Masyarakat bisa mengambil Pelajaran bahwa pertemuan para ketua umum partai, salah satunya bertujuan untuk menghaluskan pemilu, agar ketegangan seperti pada pemilu 2019, tidak terjadi lagi,” pungkasnya.