JAKARTA - Jika tidak bisa merawat, maka jangan merusak.
Nasihat bijak itu layak dieja dan direnung ulang. Sebab, hingga kini masih terjadi prilaku, gaya hidup, dan pola hidup yang bisa merusak bumi. Salah satunya kebiasaan membuang-buang makanan atau sering disebut food waste.
"Food waste bisa menghasilkan sampah pangan, yang daya rusaknya terhadap alam lebih dahsyat dari karbondioksida," ujar akademisi lingkungan dari Universitas Warmadewa, Denpasar, Bali, I Nengah Muliarta yang dihubungi dari Jakarta, belum lama ini.
Sejatinya, food waste tak hanya berbanding lurus dengan kerusakan alam, namun juga menciderai rasa keadilan. Masyarakat di satu kelas sosial, begitu mudahnya membuang-buang makanan. Sedangkan di kelas sosial lain, akses terhadap pangan yang layak masih jauh panggang dari api.
"Saya sengaja beli beras yang harganya sepuluh ribu supaya tetap enak walau makannya cuma pakai kecap dan krupuk," ujar Pariadi (bukan nama sebenarnya) dalam sebuah perbincangan di Bogor, Jawa Barat, beberapa waktu lalu.
Pariadi adalah satu dari sekian banyak anggota masyarakat yang mengalami kerentanan pangan. Hampir setiap hari dia harus berakrobat memutar keminiman anggaran demi menjaga stabilitas stok beras di dapur mungilnya. Yang penting, kata dia, beras aman, bahwa saat menjadi nasi hanya bersanding dengan seiris telur, itu soal lain.
"Uang beli lauk, sering jebol, pak, kepakai buat kebutuhan sekolah anak," tutur Pariadi, yang penghasilan dari kerja serabutannya kurang dari satu juta sebulan. Beruntung, sang istri membantu bekerja mengasuh bayi tetangga, dengan upah seratus ribu per minggu.
"Kalau lagi ada uang, ya lumayan, bisa lauk telur. Itu pun sehari dua butir untuk empat orang, " kata Pariadi.
Perbincangan terhenti karena HP `jadul` Pariadi bunyi. Sepotong pesan datang: Kang Pariadi, punten, besok minta tolong ngecat pagar rumah saya ya, mau ada tamu.
Senyum lelaki 41 tahun itu mengembang, rezeki datang tanpa diundang.
"Kalau ngecat gini, saya diupah seratus ribu, pak. sore, pulang ngecat, saya beli beras dua liter, dua puluh ribu. Sisa delapan puluh ribu, langsung saya kasih istri," ujar Pariadi, yang selama berbincang tak pernah menunjukkan wajah sedih. Bapak dua anak itu terlihat tegar dan rileks.
"Makan itu kan yang penting kenyang, pak. Buat keluarga saya, sepiring nasi sama kecap, krupuk, sudah kenyang," kata Pariadi, masih dengan wajah tegar.
Namun, masih tegar kah Pariadi jika mengetahui bahwa di luar kehidupannya masih banyak orang yang membuang-buang makanan. Dengan mudahnya mereka membuang daging ayam, daging sapi, telur, ikan, sayur, buah, dan aneka pangan lain. Mereka `terpaksa` menyisakan dan membuang makanan dengan alasan sudah kenyang, tidak selera, bahkan yang terdengar naif: tidak mood makan.
Merujuk data Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), jumlah pangan yang hilang dan terbuang di Indonesia periode tahun 2000 hingga 2019 mencapai 23 hingga 48 juta ton per tahun, atau setara dengan 115 hingga 184 kg per kapita per tahun. Secara nilai, jumlah pangan yang hilang dan terbuang di Indonesia pada periode tersebut mengakibatkan kerugian ekonomi sekitar Rp213 triliun hingga Rp551 triliun per tahun.
"Potensi food loss and waste tersebut dapat disalurkan untuk memberi makan 61 sampai 125 juta orang, atau sekitar 29 sampai 47 persen populasi Indonesia," kata Kepala Badan Pangan Nasional atau National Food Agency (NFA) Arief Prasetyo Adi.
Arief menyebutkan pangan yang terbuang kerap terjadi di pasar ritel, yaitu produk pangan kadaluarsa yang dibuang. Dan terakhir pangan yang terbuang terjadi di tingkat konsumen pada saat di meja makan.
Makanan-makanan yang terbuang itu, kemudian mendapatkan perjalanan terakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di sini lah, kata Muliarta, bencana lingkungan dari sampah makanan, dimulai.
"Sisa makanan, yang merupakan sampah organik, cenderung basah,
dan menumpuk saat di TPA. Tumpukan paling bawah menghasilkan gas metan. Nah, gas ini lah yang memicu bencana," papar Muliarta.
Gas metan, lanjut Muliarta, berkontribusi besar terhadap efek rumah kaca.
"Bahkan kontribusinya 20-30 kali lebih besar dari karbondioksida atau CO2," ujar Muliarta.
Produksi gas metan semakin menjadi-jadi manakala `bersemayam` di TPA yang menggunakan pola open dumping. Bahkan, lanjut Muliarta, pola penumpukan sampah yang tidak dilapisi tanah tersebut bisa memicu ledakan gas metan.
Mirisnya, ledakan tersebut hanya lah sebagian kecil dari bahaya yang muncul dari gas metan. Ada bahaya lain yang secara intensif merusak kenyamanan bumi.
"Yakni naiknya suhu bumi. Kenaikan ini tak bisa dihindari karena sifat gas metan yang cenderung menaikkan suhu. Kenaikan suhu semakin menebalkan gas rumah kaca, dan efeknya semakin memanaskan suhu bumi," papar Muliarta.
Dan pastinya, kenaikan suhu bumi akan dirasakan oleh semua orang, termasuk Pariadi. Jika sudah begini, masih mampukah dia tegar? Entah lah.