JAKARTA - Universitas Indonesia melalui Tim Pengabdian Masyarakat (Pengmas) UI merevitalisasi rumah adat Suku Modo di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur (NTT). Revitalisasi ini bertujuan untuk menghadirkam kembali peradaban lama.
Peresmian rumah adat suku Modo ditandai dengan serah terima dari pihak UI, sekaligus pemotongan pita oleh Direktur Direktorat Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (DPPM) UI, Prof. Agung Waluyo, S.Kp., M.Sc., Ph.D. kepada Kepala Suku Modo di Desa Komodo, Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (14/10/2023).
Tim Pengmas UI diketuai Dr. Hendra Kaprisma, S.Hum., dan beranggotakan Dr. Bondan Kanumoyoso, S.S., M.Hum., yang saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI; Dwi Kristianto, S.Hut, M.Kesos, dan Albertus Donny Kurniawan. Bersama dengan masyarakat adat suku Modo, Tim Pengmas UI kembali menghadirkan peradaban lama tersebut dalam bentuk rumah adat.
“Di pulau komodo, terdapat hubungan yang sangat unik antara masyarakat dan komodo itu sendiri, yaitu pada Suku Modo. Pada Suku Modo, jejak-jejak peradaban dapat kita lihat dan telusuri dari eksistensi tradisi dan ritual yang masih terjaga sampai saat ini. Namun, bentuk-bentuk fisik kebudayaan, seperti halnya rumah adat, pakaian adat, dan simbol lainnya sulit untuk ditemukan. Hal itulah yang menjadi dasar tim pengabdi untuk melakukan revitalisasi terhadap rumah adat Suku Modo,” ujar Dr. Hendra Kaprisma dalam siaran pers, yang dikutip, Rabu (18/10/2023).
Lebih lanjut ia berharap rumah adat yang sudah dibangun oleh UI dan suku Modo dapat dimanfaatkan menjadi pusat kegiatan pelestarian budaya. Selain itu juga menjadi destinasi wisata di Desa Komodo.
“Dibangunnya rumah adat ini merupakan bentuk komitmen kami dalam mendampingi warga Desa Komodo untuk melestarikan warisan budaya yang dimiliki—sekaligus membangun potensi wisata budaya,” ujar Dr. Bondan Kanumoyoso.
Suku Modo adalah suku asli dari desa yang tinggal di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Mereka berperan aktif dalam melindungi dan menjaga pelestarian satwa komodo di pulau ini. Hal ini dapat dilihat dari adat dan budaya suku Modo yang meyakini bahwa leluhur orang Modo dan satwa Komodo adalah sama, yang lahir dari satu rahim. Mitos manusia lahir kembar dengan komodo merupakan sebuah pengetahuan yang terus diwariskan kepada anak cucu suku Modo. Oleh karena itu, hingga saat ini suku Modo dan satwa komodo dapat hidup berdampingan dan saling jaga.
Berdasarkan hasil kajian awal dari Tim Pengabdian Masyarakat (pengmas) Universitas Indonesia (UI), didapatkan informasi bahwa suku Modo memiliki peradaban yang panjang. Salah satu literatur tertua mengenai Pulau Komodo tertulis dalam Naskah Bo Sangaji Kai, naskah kuno milik Kerajaan Bima, yang aslinya ditulis menggunakan aksara Bima.
Naskah tersebut kemudian ditulis ulang pada abad ke-19 dengan menggunakan huruf Arab-Melayu. Pulau Komodo pada saat itu merupakan wilayah dari Kesultanan Bima. Kedatangan misionaris Belanda di Kabupaten Manggarai turut ikut campur dalam hal tersebut, yaitu memberikan kekuasaan Pulau Komodo dari Sultan Bima kepada Raja Manggarai pada awal abad 19.
Bagi masyarakat adat, memiliki rumah adat merupakan identitas dan lambang kebanggaan yang membedakan dengan suku lainnya. Munculnya kesadaran masyarakat suku Modo untuk terus mempertahankan budaya dan tradisi yang mereka miliki adalah dengan masih terus terjaganya nilai-nilai spiritual dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang suku mereka. Sayangnya, jejak peradaban suku Modo hingga saat ini masih sulit dilacak. Beberapa hal yang masih kuat adalah tradisi lisan. Sementara itu, hal-hal fisik seperti baju adat, rumah adat, dan simbol-simbol lainnya sudah tidak ditemukan.