JAKARTA - Perubahan iklim terjadi dalam dua dimensi, yakni laut dan atmosfer. Keduanya memiliki potensi bencana, yang bisa menghambat pembangunan daerah.
Kepala Pusat Perubahan Iklim Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso Abi Suroso menyampaikan hal itu dalam acara Bencana Akibat Perubahan Iklim disiarkan secara daring di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Secara umum, kata Santoso, perubahan iklim terjadi di dua dimensi, yakni iklim atmosfer dan laut. Baik atmosfer maupun laut, menurut dia, bisa mendatangkan bencana, yang berujung pada terhambatnya pembangunan daerah.
Santoso menyebutkan, perubahan iklim laut bisa membahayakan sektor kelautan, seperti keselamatan pelayaran dan ketidakstabilan pesisir atau abrasi. Sedangkan, perubahan iklim atmosfer, kata dia, akan memicu kekeringan, banjir, penurunan ketersediaan air, dan produksi padi.
"Tak hanya padi, komoditas lain juga terpengaruh," kata dia.
Terkait hal itu, Santoso memaparkan
hasil penelitiannya di Jawa Barat, yang menunjukkan dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air.
Dalam penelitian tersebut dia menyampaikan proyeksi debit rata-rata pada 2034-2049, dominasi penurunan kuantitas air terbesar yakni di wilayah selatan Jawa Barat dimulai dari Garut hingga Pangandaran, Metropolitan Cirebon Raya, serta sebagian kecil wilayah Purwakarta, Subang, Karawang, Bogor, dan Sukabumi.
Penelitian yang dilakukannya juga melihat adanya penurunan produksi padi di Jawa Barat akibat turunnya intensitas air yang disebabkan perubahan iklim.
"Untuk total Jawa Barat diproyeksikan terjadi penurunan produksi," katanya.
Bencana lain yang datang dari perubahan iklim ancaman kesehatan. Di sektor ini, perubahan iklim bisa
meningkatkan kasus penyakit demam berdarah dengue (DBD).