JAKARTA - Eskalasi ketidakpastian global yang berkelanjutan memberi penjelasan sangat gamblang kepada semua orang bahwa dunia memang sedang tidak baik-baik saja. Ada perang dan konflik bersenjata di sejumlah kawasan. Ekses ketidakpastian global ini hendaknya digarisbawahi oleh para calon presiden karena nyata-nyata telah menghadirkan dampak negatif bagi dinamika kehidupan masyarakat.
Berpijak pada fakta tentang berlarut-larutnya perang antara Rusia versus Ukraina sejak pekan keempat Februari 2022, publik dalam negeri sudah tahu dengan sendirinya bahwa dunia saat ini memang sedang tidak baik-baik saja. Ketidakpastian global akibat konflik bersenjata di kawasan Eropa Timur itu kemudian tereskalasi oleh perang antara Hamas dengan Israel di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, jutaan arus pengungsi dari Afrika ke berbagai belahan dunia terus berlangsung karena sejumlah negara di benua itu belum mampu menyudahi konflik bersenjata. Ada laporan yang mengungkap bahwa lebih dari 40 juta jiwa telah mengungsi dari Afrika dalam satu dekade terakhir karena rentetan konflik bersenjata di benua itu.
Asia Tenggara, dan kawasan Asia secara keseluruhan, pun menyimpan potensi masalah serius terkait dengan klaim Tiongkok atas Laut Cina Selatan (LCS) yang ditentang sejumlah negara. Faktor LCS, mau tak mau, harus diakui juga menyimpan potensi ketidakpastian. Keterlibatan Amerika Serikat (AS) dalam masalah ini bahkan menjadikan LCS ibarat api dalam sekam yang setiap saat bisa mengganggu tekad dan semangat ASEAN (Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara) merawat stabilitas kawasan ini. Belum lagi dengan posisi AS yang terang-terangan menentang klaim Tiongkok atas Taiwan.
Selain oleh perang dan konflik, Ketidakpastian global semakin diperparah oleh rangkaian dampak atau ekses perubahan iklim karena berubahnya pola hujan, peningkatan suhu bumi, menurunnya kualitas sumber daya air dan lahan, serta aneka ragam bencana, termasuk kekeringan. Semua ekses perubahan iklim berdampak nyata pada menurunnya produksi tanaman pangan, karena gagal panen terjadi di berbagai belahan dunia.
Semua fakta itu menjadi penjelasan yang cukup komprehensif untuk membenarkan bahwa dunia nyata-nyata sedang terperangkap dalam situasi tidak stabil. Setelah faktor pandemi Covid-19 yang masih menyisakan begitu banyak masalah, destabilisasi dunia juga disebabkan oleh rivalitas antar-kekuatan besar seperti AS di satu sisi, yang berhadapan dengan Rusia-Tiongkok di sisi lain dalam konteks hegemoni politik dan ekonomi. Semua berharap para pemimpin bangsa-bangsa di Asia bisa mengelola benturan kepentingan di LCS dengan penuh kebijaksanaan dengan menghindari pengerahan kekuatan militer agar Asia tetap menjadi benua yang kondusif.
Ketidakpastian global yang terus tereskalasi itu pasti menghadirkan dampak bagi Indonesia. Bahkan sejumlah dampak ketidakpastian itu dirasakan langsung oleh masyarakat, antara lain dalam wujud fluktuasi harga bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikan harga bahan pangan. Sepanjang tahun ini, harga beras premium maupun medium terus mengalami kenaikan. Per September 2023 misalnya, tercatat bahwa harga beras premium naik 13,29 persen dan harga beras medium melonjak 16,79 persen. Impor beras untuk mengamankan kebutuhan dalam negeri menjadi tidak mudah karena dunia saat ini terus dibayangi ketidakpastian.
Dinamika global yang tidak kondusif seperti itulah yang akan membayangi proses pergantian kepemimpinan nasional pada tahun 2024. Pada Februari 2024, Indonesia akan menyelenggarakan pemilihan Presiden (Pilpres) dan pemilihan anggota DPR (Pileg). Kalau segala sesuatunya berjalan lancar, akan tampil administrasi pemerintahan baru di penghujung Oktober 2024. Menuju Februari 2024, masyarakat sudah disuguhi tiga pasangan calon presiden-wakil presiden (Capres-Cawapres).
Oleh karena ketidakpastian global sekarang berpotensi menghadirkan dampak cukup serius bagi masyarakat, para kandidat Capres-Cawapres diharapkan memberi perhatian ekstra. Berpijak pada situasi saat ini, dapat dikatakan bahwa tantangan utama bagi pemimpin pemerintahan baru hasil Pilpres 2024 adalah kemampuan mewujudkan ketersediaan bahan pangan – utamanya beras – dalam jumlah yang memadai dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Faktor harga beras yang saat ini cenderung terus mengalami kenaikan hendaknya digarisbawahi. Patut dipahami bahwa kenaikan harga beras dan bahan pangan lain yang terjadi saat ini bukan semata-mata karena alasan mekanisme pasar, melainkan lebih karena alasan adanya gangguan atau kerusakan pada mata rantai pasokan global (supply chain disruption). Oleh karena gangguan rantai pasok itu disebabkan perang dan konflik, tidak mudah untuk mengatasinya karena tidak ada yang tahu kapan perang dan konflik itu akan berakhir.
Selain itu, menurunnya produksi bahan pangan akibat perubahan iklim menyebabkan sejumlah negara produsen untuk sementara menghentikan atau mengurangi volume ekspor, karena lebih memprioritaskan kebutuhan dalam negeri. Artinya, dengan pendekatan harga yang tinggi sekalipun tidak akan menggoyahkan negara produsen bahan pangan untuk menjual atau mengekspor produk mereka karena alasan memrioritaskan kebutuhan negara masing-masing.
Maka, ketika produksi beras dalam negeri – dan juga bahan pangan lain-- belum dapat menutup total kebutuhan atau permintaan masyarakat, persoalan yang akan mengemuka di ruang publik adalah minimnya stok beras yang kemudian mendorong lonjakan harga. Potensi masalah seperti inilah yang patut diwaspadai dan dicermati olah para kandidat Capres-Cawapres. Potensi krisis pangan berskala global di tahun-tahun mendatang akan menjadi tantangan dan persoalan riel yang dihadapi banyak pemimpin negara, termasuk Indonesia.
Untuk memenuhi kebutuhan lebih dari 270 juta jiwa penduduk Indonesia, ketersediaan bahan pangan dalam volume dan jumlah yang memadai adalah keniscayaan. Data historis dan pengalaman pun mengajarkan dan mengingatkan bahwa produksi bahan pangan dalam negeri belum dapat memenuhi total kebutuhan dan permintaan masyarakat, sehingga kekurangannya harus di impor. Impor bahan pangan di tahun-tahun mendatang pun belum tentu lebih mudah karena ketidakpastian global terus tereskalasi.
Sekadar menyegarkan ingatan, untuk menutup permintaan dan kebutuhan masyarakat, Indonesia hingga kini masih harus impor belasan komoditi bahan pangan. Mulai dari beras, jagung, susu, minyak goreng nabati, mentega, kopi, kentang, kedelai, kakao, gula, gandum dan meslin hingga Cengkeh. Per 2022, nilai impor bahan pangan Indonesia dilaporkan mencapai 16,09 miliar dolar AS atau sekitar Rp 248,63 triliun. Nilai ini cukup memberi gambaran tentang tingginya ketergantungan Indonesia akan bahan pangan impor.
Maka, selain terus melakukan pendekatan impor untuk mengamankan ketersediaan bahan pangan di tahun-tahun mendatang, para kandidat Capres-Cawapres didorong untuk lebih bersungguh-sungguh mewujudkan program food estate. Potensi besar tanaman pangan yang sangat beragam di berbagai daerah jangan disia-siakan.
Untuk merespons persoalan dan tantangan ketersediaan bahan pangan yang semakin serius di tahun-tahun mendatang akibat perubahan iklim, pemimpin Indonesia hendaknya segera mengerahkan dan menggunakan semua daya dan potensi yang tersedia untuk segera mewujudkan program food estate.
[Bambang Soesatyo: Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Borobudur, Universitas Pertahanan (UNHAN), Universitas Terbuta (UT) dan Universitas Perwira Purbalingga (UNPERBA)]