MANILA - Konflik di Myanmar yang dikuasai militer telah menjadi masalah yang sulit untuk diatasi oleh blok Asia Tenggara ASEAN, dengan sedikit kemajuan yang dicapai menuju resolusi dan meningkatnya pertempuran, kata Presiden Filipina Ferdinand Marcos.
Berbicara di sebuah forum di Hawaii yang disiarkan langsung di Filipina pada hari Senin, Marcos mengatakan ada komitmen dari Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), namun masalahnya rumit, termasuk dampak kemanusiaannya.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan lebih dari satu juta orang telah mengungsi sejak militer Myanmar melancarkan kudeta pada tahun 2021, yang menjungkirbalikkan satu dekade demokrasi tentatif dan menjerumuskan negara itu ke dalam konflik dan kehancuran ekonomi.
“Ada banyak dorongan bagi ASEAN untuk menyelesaikan masalah ini. Namun ini adalah masalah yang sangat-sangat sulit,” kata Marcos.
Tindakan keras junta terhadap lawan-lawannya pasca kudeta memunculkan gerakan perlawanan yang semakin kuat. ASEAN telah melarang para jenderal senior menghadiri pertemuan tersebut sampai mereka berkomitmen terhadap peta jalan perdamaian yang telah ditetapkan selama dua tahun.
Filipina akan memimpin ASEAN pada tahun 2026 setelah menggantikan Myanmar sebagai tuan rumah pada tahun itu.
Puluhan ribu orang lagi terpaksa mengungsi sejak bulan lalu ketika militer memerangi serangan terkoordinasi yang dilakukan oleh aliansi tiga kelompok etnis minoritas dan pejuang pro-demokrasi.
Marcos, mengutip analisis eskalasi yang terjadi baru-baru ini, mengatakan junta telah kehilangan dukungan dari militernya sendiri.
Dia mengatakan kerugian kemanusiaan akibat konflik telah “meningkat secara eksponensial” dalam beberapa tahun terakhir, dan Filipina juga terkena dampaknya dengan warga negaranya yang menjadi korban perdagangan manusia di sana.