• News

Pergantian Kekuasaan Titik Kritis Masa Depan Pemberantasan Korupsi

Aliyudin Sofyan | Kamis, 04/01/2024 21:27 WIB
Pergantian Kekuasaan Titik Kritis Masa Depan Pemberantasan Korupsi Diskusi visi dan misi Capres 2024 tentang pemberantasan korupsi oleh Universitas Paramadina, Kamis (4/1/2024). Foto: tangkapanlayar

JAKARTA - Rektor Universitas Paramadina Prof. Didik J. Rachbini, M.Sc, Ph.D. menilai, Indonesia saat ini sedang memiliki masalah dengan lembaga anti korupsi, yaitu KPK. KPK punya tantangan yang sangat berat setelah Undang-undangnya di amandemen.

Masa transisi pergantian kekuasaan, justru akan sangat menentukan nasib lembaga anti rasuah dan pemberantasan korupsi di tanah air ini. Sebab, jika hukum sedang ada masalah, maka akar masalahnya ada pada kekuasaan dan demokrasi.

Demikian disampaikan Prof Didik dalam diskusi “Menggugat Visi Capres tentang Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Tengah KPK Limbung” (Suara Perempuan dari Kampus) yang digelar oleh Paramadina Public Policy Institute bekerja sama dengan Forum Integritas di Jakarta, Kamis (4/1/2024).

Diskusi yang dimoderatori oleh Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Paramadina Dr. Fatchiah E. Kertamuda, M.Sc. menghadirkan para perempuan sebagai pembicara, yaitu Dr. Dra. Prima Naomi, M.T. (Dosen Universitas Paramadina), Milda Istiqomah, S.H., MTCP, Ph.D. (Dosen Universitas Brawijaya), dan Asriana Issa Sofia M.A (Dosen Universitas Paramadina).

“Ketika demokrasinya bermasalah, maka hukumnya pun akan berat. Tentunya hal itu adalah ujian bagi para calon presiden (capres) yang ada,” kata Prof. Didik.

Prof. Didik mengatakan, ketiga capres memang mempunyai visi tentang pemberantasan korupsi, tapi berbeda-beda.

“Capres No 1 (AMIN) berkeinginan akan mengembalikan KPK seperti asalnya. Capres No 2 dan No 3 juga kelihatannya komit terhadap agenda pemberantasan korupsi. Persoalannya, pemerintahan sekarang juga mengklaim komit terhadap pemberantasan korupsi, tapi kenyataan berbicara sebaliknya,” tegas Prof. Didik.

Milda Istiqomah dalam paparannya mengatakan, dari survey tren kepuasan pemberantasan korupsi dan penegakan hukum di Indonesia terhadap 1240 responden di 38 provinsi Indonesia yang dilakukan pada 6-12 November 2023, terungkap bahwa kepuasan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia tercatat 46,85% responden menyatakan puas, dan 6,45% menyatakan sangat puas. Total 53,3%.

“Sementara responden yang menyatakan tidak puas sebanyak 41.05% dan 5,65% menyatakan sangat tidak puas. Total 46,7%,” kata Milda.

“Yang menarik, ternyata trend ketidakpuasan terhadap upaya pemberantasan korupsi telah menurun sejak Juni 2023 sebesar 7,23%, dari 60,48% menurun menjadi 53,3%,” imbuhnya.

Terhadap pertanyaan soal Kepuasan Penegakan Hukum di Indonesia, sebanyak 45,89 responden menyatakan Puas, 7,18% Sangat Puas (Total 53,67%). Sementara yang menyatakan Tidak Puas sebanyak 35,65% dan Sangat Tidak Puas 4,11 (Total 39,76%).

Tren Kepuasan Terhadap Penegakan Hukum di Indonesia juga menurun sejak Juni 2023 sebesar 11,61% atau 64,68% menjadi 53.07%.

Sementara itu Tren Kepuasan terhadap Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia juga menurun sejak Juni 2023 sebesar 6,29%. Dari 74,11% menjadi 67,82%.

“Tinjauan terhadap Visi Misi ke 3 Capres/cawapres untuk persoalan pemberantasan korupsi terlihat masih standard, terlalu normatif, belum menyentuh akar persoalan, tidak ada terobosan baru yang ditawarkan kepada pemilih. Juga masih sangat menggantungkan nasib bangsa kepada KPK dan seolah-olah mengkerdilkan lembaga hukum lainnya,” kata Milda.

Seharusnya, lanjut Milda, yang menjadi pemikiran hukum para capres adalah bagaimana mendorong agar kinerja kepolisian dan kejaksaan dapat bekerja secara professional, kredibel, transparan dan akuntabel dalam pemberantasan korupsi. Kemudian mengalokasikan anggaran penyidikan perkara dan kesejahteran penyidik di kepolisian dan kejaksaan yang harus sama dengan anggaran yang  diberikan kepada KPK.

Menurut Milda, saat ini ditengarai telah tumbuh despotisme baru menggabungkan teknologi, media, hukum serta pendekatan keamanan. Potensi ancaman demokrasi khususnya terkait pelanggaran terhadap kebebasan dasar (civil liberties).

“Alih-alih mengejar supremasi hukum, pemerintah melegitimasi tindakannya melalui pembentukan atau perubahan hukum,” ujarnya.

Revisi UU KPK menjadi UU No 19 Tahun 2019 yang meletakkan KPK di bawah rumpun eksekutif adalah salah satu contohnya. Pengesahaan UU KPK hanya dilakukan dalam waktu kurang lebih 14 hari.

“DPR menggelar rapat paripurna yang hanya dihadiri oleh 70 orang anggota DPR dan menghasilkan pengesahan UU No 19 Tahun 2019,” katanya.

Sementara, Asriana Issa Sofia mengatakan, pendekatan ketiga capres terkait penindakan korupsi dan masa depan KPK berpusat pada penegakan hukum yang tidak tebang pilih kasus, dan kedua, menargetkan pada pengesahan RUU pengembalian asset.

“Ketiga capres juga menginginkan penguatan kembali KPK dengan merevisi UU KPK dan pemulihan independensi KPK, memperkuat sinergitas KPK, Polri, Kejaksaan, memperkuat integritas pegawai dan kepemimpinan KPK dengan memperketat seleksi dan melibatkan partisipasi publik, penegakan dan proses hukum, sebagai pemulihan reputasi KPK,” ujarnya.