Revisi Kedua UU ITE Dinilai Malah Menambah Pasal Berbahaya

Agus Mughni Muttaqin | Jum'at, 05/01/2024 12:21 WIB
Revisi Kedua UU ITE Dinilai Malah Menambah Pasal Berbahaya Ilustrasi UU ITE. (Foto: Kominfo)

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi UU ITE (Koalisi Serius) menilai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada Kamis (4/1/24), masih memuat pasal-pasal bermasalah seperti pencemaran dan penyerangan nama baik, ujaran kebencian, informasi palsu, dan pemutusan akses.

Menurut koalisi yang terdiri dari belasan organisasi bidang hukum, demokrasi, hak asasi manusia (HAM), dan jurnalis seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE) ini, pasal-pasal bermasalah tersebut akan memperpanjang ancaman bagi publik mendapatkan informasi serta hak kebebasan berekspresi di Indonesia.

UU ITE di Indonesia adalah salah satu contoh tren di dunia bagaimana undang-undang terkait kejahatan dunia maya disalahgunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan kebebasan pers. Sejak disahkan pada 2008 dan revisi pertama 2016, UU ITE telah mengkriminalisasi pembela hak asasi manusia (HAM), jurnalis, perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, hingga warga yang melontarkan kritik sahnya,” kata Koalisi Serius dalam keterangan tertulisnya, diterima di Jakarta, Jum’at (5/1/24).

Koalisi Serius sejak awal menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik. Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan HAM.

“Alih-alih menghilangkan pasal yang selama ini bermasalah, koalisi menemukan bahwa perubahan Undang-undang ini masih mempertahankan masalah lama. Pasal-pasal bermasalah itu antara lain Pasal 27 ayat (1) hingga (4) yang kerap dipakai untuk mengkriminalisasi warga sipil; Pasal 28 ayat (1) dan (2) yang kerap dipakai untuk membungkam kritik; hingga ketentuan pemidanaan dalam Pasal 45, 45A, dan 45B,” ujarnya.

DPR bersama Pemerintah juga menambahkan ketentuan baru dalam UU Nomor 1 Tahun 2024 tersebut. Koalisi Serius menyoroti salah satunya Pasal 27A tentang penyerangan kehormatan atau nama baik orang. "Ketentuan ini masih bersifat lentur dan berpotensi mengkriminalisasi masyarakat yang kritis. Pasal baru lainnya adalah Pasal 27B tentang ancaman pencemaran," ujarnya.

Pasal 2B ayat (2) soal mendistribusikan atau mentransmisikan informasi elektronik dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia.

Koalisi Serius juga menyoroti Pasal 28 ayat 3 dan pasal 45A ayat (3) tentang pemberitahuan bohong yang sudah memiliki padanannya dalam KUHP baru. "Pasal ini berpotensi multitafsir karena tidak ada penjelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pemberitahuan bohong," katanya.

Selain pasal-pasal pemidanaan, hasil revisi kedua UU ITE masih mempertahankan Pasal 40 yang memberikan kewenangan besar bagi pemerintah memutus akses terhadap informasi yang dianggap mengganggu ketertiban dan dan melanggar hukum.

Sebelumnya, lanjut Koalisi Serius, sebanyak 68 organisasi global juga menyoroti tertutupnya proses revisi sehingga memberikan sedikit ruang bagi keterlibatan dan pengawasan publik.

“Kurangnya transparansi ini menimbulkan risiko besar yang berpotensi menghasilkan peraturan yang menguntungkan elite dibandingkan perlindungan HAM,” ujarnya.

Melihat berbagai masalah tersebut, yang masih eksis pada revisi kedua UU ITE, maka Koalisi Serius menyatkan menolak dengan tegas pengundangan Revisi Kedua UU ITE ini, “Karena telah mengabaikan partisipasi publik bermakna, serta terus melanggengkan pasal-pasal yang berpotensi digunakan untuk membungkam kebebasan berekspresi dan pelanggaran HAM lainnya,” katanya.

Selain itu, Koalisi Serius mendesak pemerintah untuk memastikan implementasi UU No.1/2024 agar tidak digunakan untuk mengkriminalisasi kelompok kritis dan korban kejahatan yang sesungguhnya.

Koalisi Serius juga pemerintah dan DPR RI untuk menerapkan partisipasi publik yang bermakna dalam setiap pengambilan keputusan.