Akademisi Paramadina: Diplomasi Indonesia Harus Tekankan Ekonomi, Peran Strategis, dan Diaspora

Tim Cek Fakta | Kamis, 11/01/2024 23:59 WIB
Akademisi Paramadina: Diplomasi Indonesia Harus Tekankan Ekonomi, Peran Strategis, dan Diaspora Diskusi Universitas Paramadina dengan tema Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri, di Jakarta, Kamis (11/1/2024). Foto: tangkapanlayar

JAKARTA – Dosen Program studi Hubungan Internasional Universitas Paramadina Dr. Peni Hanggarini melihat bahwa diplomasi kebijakan luar negeri Indonesia selama 10 tahun terakhir yang harus diberi apresiasi adalah pencapaian prioritas, penguatan diplomasi ekonomi, diplomasi perlindungan WNI, diplomasi kedaulatan, diplomasi Indonesia bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan dan dunia, serta  peningkatan infrastruktur diplomasi.

“Berharap pada 10 bulan ke depan hendaknya lebih menekankan pada grand strategi diplomasi ekonomi dan grand strategi untuk meningkatkan peran strategis, serta peran strategis diaspora Indonesia,” kata Peni dalam diskusi yang diselenggarakan Universitas Paramadina dengan tema “Catatan Awal Tahun: Menimbang Visi dan Misi Capres dan Evaluasi Tentang Politik Luar Negeri,” di Jakarta, Kamis (11/1/2024).

Peni mengatakan, tinjauan terhadap Visi Misi para Capres perihal kebijakan luar negeri dan kritik para capres sebenarnya telah disampaikan oleh Menlu Retno Marsudi bahwa Diplomasi Indonesia tidaklah transaksional atau inward looking dan Indonesia telah berperan penting di tingkat multilateral.

“Adapun pandangan terhadap kebijakan luar negeri Indonesia di masa mendatang bahwa ada tantangan dari lingkungan eksternal seperti, dampak rivalitas di Indo-Pasifik, dampak potensi perang berlarut, tantangan terhadap sentralitas ASEAN dan Peluang kerjasama organisasi antar Kawasan,” katanya.

Pembicara lain, Dr. Theo L. Sambuaga mengatakan, Indonesia merupakan salah satu bagian dari ASEAN yang memiliki kelemahan yakni setiap keputusan harus diambil berdasarkan konsensus.

Theo juga memberi contoh kasus Rohingya, dimana Indonesia dan beberapa negara ASEAN mempunyai prinsip untuk selalu menerima pengungsi Rohingya. “Dalam kasus Rohingya, ASEAN tidak pernah bisa mengambil keputusan secara konsensus sehingga selama ini kasus mengenai Rohingya menjadi terabaikan,” ujarnya.

Contoh lain yang dipaparkan oleh Theo, mengenai Laut Cina Selatan (LCS) karena adanya klaim antara negara seperti Vietnam, Filiphina, Malaysia, Indonesia, dan China.

“Terakhir China malah mengklaim sebagian ZEE Indonesia sebagai wilayahnya yang ditentang Indonesia dan juga PBB. Karena masalah saling klaim antar negara, keputusan soal LCS tidak bisa diambil kesepakatan bersama.” lanjut Theo.

Narasumber berikutnya, Asriana Issa Sofia M.A melihat isu-isu globalisasi, soft power, nation branding, dan diplomasi publik merupakan masalah utama yang dihadapi Indonesia saat ini.

“Soft power sebagai sebuah instrumen sebuah negara bisa memanage proses internasionalnya dengan berhubungan di level dunia, dengan menggunakan soft power. Dengan menggunakan instrument berbeda, yaitu approach diplomasi, international exchange, culture, culinary, dan sports,” kata Asriana.

Pada hard power, Asriana melihat national image atau national branding yakni apa yang secara otomatis menjadi reputasi yang tercetak bagi Indonesia dan bisa ditangkap. “Promosi/advertising tentang profil Indonesia yang harus dilihat oleh negara lain. Di situlah perlunya maksimalisasi soft power disamping hard power,” kata Asriana.

Narasumber lainnya, Dr. M. Riza Widyarsa melihat pengguna internet diindonesia cukup tinggi, hal tersebut dipengaruhi dengan populasi Indonesia itu sendiri. “Berdasarkan data BSSN tahun 2022, ada 976 juta serangan hacker di Indonesia, dan 14.75% kebocoran data secara sangat signifikan. Beberapa paslon juga membicarakan mengenai serangan cyber yang terjadi di Indonesia,” ujar Riza.

Riza memandang permasalahan yang terjadi adalah SDM yang memiliki kemampuan untuk membuat sebuah sistem pencegahan keamanan siber, karena data sangat privat dan sensitive. “Memang benar seperti yang dikatakan oleh salah satu paslon bahwa internet yang dimiliki oleh Indonesia harus bagus, cepat dan stabil. Tetapi harus diimbangi dengan SDM yang mumpuni dalam bidangnya,” ungkapnya.

Tak hanya permasalahan siber, tetapi ada juga permasalahan keamanan pangan yang dihadapi oleh Indonesia mengutip data BPS kita masih melakukan impor terhadap susu, beras, dan lain sebagainya. “Hal ini yang membuat Indonesia menduduki peringkat ke-63 berdasarkan Global Food Security Indeks berdasarkan data pada tahun 2022. Oleh sebab itu, Indonesia sejak jaman Soeharto, SBY dan Jokowi membuat lumbung pangan atau food estate,” tambahnya.

“Program ketahanan pangan kita, berdampak besar terhadap lingkungan terutama di Kalimantan. Karena membabat hutan lindung sehingga membuat ekosistem menjadi rusak dan bersinggungan dengan tanah adat. Ditambah dengan jenis tanaman yang akan di tanam sehingga berdampak pada kerusakan alam,” pungkasnya.