JAKARTA - Mantan Panglima TNI Jenderal Purnawirawan Gatot Nurmantyo merasa miris membaca hasil survei yang dilakukan oleh Pemuda ICMI Pusat, yang menyatakan Pemilu 2024 dipastikan curang. Kecurangan ini akan berdampak sangat serius berupa disintegrasi bangsa.
Dalam laporan survei berjudul Pemilu Curang dan Ancaman Disintegrasi Bangsa disebutkan sebanyak 85,2 persen responden setuju memisahkan diri dari NKRI jika Pemilu curang, 6,7 persen tidak setuju, dan 8,1 persen agak setuju.
"Dengan demikian hasil survei ini menunjukkan adanya tingkat kekhawatiran dan ketidakpuasan tinggi di kalangan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu yang curang," kata Wakil Ketua Umum Organisasi dan Kaderisasi Pemuda ICMI Pusat, Muharam Namlea, di Jakarta,Sabtu (13/1/2024).
Muharam menyatakan, survei dilakukan dengan melibatkan 2400 responden di wilayah Sumatera, dimana sebanyak 85,2 persen percaya bahwa Pemilu curang.
Jika terbukti curang, kata Muharam, masyarakat Sumatera sepakat untuk memisahkan diri dari Indonesia.
"Ini hasil survei yang bicara, bukan saya, mereka pilih memisahkan diri dari Indonesia jika terbukti Pemilu curang," tegas Muharam.
Gatot menegaskan, apa yang ditemukan oleh Pemuda ICMI tersebut merupakan peringatan serius bagi pemerintah Indonesia.
"Ini satu peringatan. Jangan main-main dengan kondisi ini. Bagi siapapun yang tidak mengindahkan peringatan ini, maka dia membiarkan kehancuran," kata Gatot dalam diskusi publik berjudul Selamatkan Pemilu yang Demokratis, di Jakarta, Sabtu (13/1/2024).
Hadir sebagai pembicara antara lain Ikrar Nusa Bakti (Pengamat Politik), Ubedilah Badrun (Ketua Prodi Ilmu Sosiologi UNJ), Ishak Rafick (Penulis), dan Hersubeno Arief dari FNN sebagai moderator serta Gatot Nurmantyo sebagai penutup diskusi.
Adapun peserta diskusi yang hadir antara lain Abraham Samad (mantan Ketua KPK), Faizal Assegaf (kritikus), Purnawirawan TNI Suharto, Purnawirawan TNI Soenarko, mantan anggota DPR RI Hatta Taliwang, dan tokoh-tokoh partai politik.
Gatot mengingatkan rakyat Indonesia bahwa saat ini masyarakat sedang menghadapi pengkhianat bangsa.
"Saat ini ada ancaman disintegrasi bangsa dan ada upaya pengkhianatan terhadap negara. Kalau kita tidak bangkit, kita akan pecah," tegasnya.
Gatot menyarankan rakyat Indonesia untuk mencegah perpecahan ini.
"Ayo kita kawal dengan membuat "Posko Indonesia Siaga" agar tidak terjadi perpecahan," pintanya.
Pengamat politik Ikrar Nusa Bakti menyatakan presiden sudah pasti tidak netral.
"Saya berani katakan Presiden pembajak demokrasi. Dia merusak demokrasi dengan memaksakan anaknya. Presiden melakukan dramaturgi, apa yg diucapkan dengan dilakukan bagai bumi dan langit," paparnya.
Cawe-cawe Jokowi makin tampak nyata saat kata Ikrar, pasca debat Presiden berbicara dengan 3 menteri, membahas kampanye apa yang bisa memenangkan capres pilihannya.
"Ini kejahatan demokrasi," kata Ikrar.
Presiden juga melakukan politik ketakutan, baik yang ada di kelompok capres maupun pada para kepala daerah. Maka lanjut Ikrar, jangan kaget jika upaya Masinton Pasaribu mengusulkan Hak Angket tidak mendapatkan dukungan parlemen bahkan dari partai sendiri.
"Parlemen tidak berhasil menjadi balancing bagi jalannya pemerintahan. Kekuatan parlemen ada di tangan Jokowi" paparnya.
Ikrar menyarankan rakyat Indonesia untuk segera bertindak, bukan omong-omong.
"Kita tidak sekadar siaga, tetapi harus bergerak. Tapi kita tidak akan melawan aparat TNI Polri. Mereka bagian dari masyarakat Indonesia" tegasnya.
Para perwira kata Ikrar harap kembali ke tugas pokok TNI, jaga serangan dari luar. Tugas Polri pengayom, pelindung, dan pelayan masyarakat, bukan penguasa.
Tidak ada tugas TNI Polri yang menjalankan perintah presiden memenangkan salah satu paslon. Jika demikian, maka polisi ikut merusak demokrasi.
"Kita harus hindari demokrasi kaum penjahat," tegasnya.
Ikrar juga menyinggung Presiden yang mengundang organisasi kepala desa ke istana.
"Kalau kepala daerah sudah di tangan Presiden, apa yang kalian bisa lakukan?" tanyanya.
Sementara Ubedilah Badrun menegaskan bahwa prestasi sangat penting bagi sebuah negara demokratis jika sirkulasi pemilu dengan demokratis.
Oleh karena itu penyelenggara pemilu dan wasit harus independen. Kalau on the track, maka demokratis.
Fakta di Indonesia saat ini penyelenggara Pemilu melanggar etik dan cacat moral. Apalagi presiden terang terangan cawe-cawe.
Kecurangan pemilu kata Ubed dilakukan sejak awal.
"Siapa yang paling bertanggungjawab? Ya Jokowi. Kalau faktor utamanya sudah jelas, maka Pemilu wajib tanpa Jokowi," pungkasnya.