JAKARTA - Ramai-ramai para tokoh nasional mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi sosial, politik, ekonomi, dan demokrasi terkini. Mereka yang terdiri dari purnawirawan TNI, politisi, pengamat politik, pengamat ekonomi, pakar hukum, akademisi, dan mahasiswa koor menyatakan rezim Jokowi harus berakhir.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menyatakan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini sudah memprihatinkan dan tidak bisa ditolerir lagi. Solusinya adalah kekuatan rakyat untuk meminta pertanggungjawaban presiden.
"People power itu tidak dilarang," kata Abraham dalam sebuah diskusi publik bertema "Selamatkan Pemilu yang Demokratis," dengan menghadirkan pembicara antara
Dr. Ikrar Nusa Bhakti (Pengamat Politik), Ubedilah Badrun (Ketua Prodi Ilmu Sosiologi UNJ), dan Ishak Rafick (Penulis) dengan dipandu oleh Hersubeno Arief dari FNN, Sabtu (13/1/2024)
Abraham mengisahkan pertemuannya dengan Najib Razak di Malaysia. Ia menanyakan bagaimana Malaysia bisa cepat maju, dimana pada tahun 1988 banyak mahasiswa Malaysia yang berkuliah di Indonesia.
Mengutip Najib, Abraham Samad menegaskan bahwa pengelolaan sumber daya alam hanya bisa dikerjakan oleh bumi putera. Ada proteksi dari negara terhadap pribumi.
Atas previlage ini, kata Abraham, lantas PBB minta direvisi UU tersebut karena melanggar HAM, akan tetapi Najib bisa mempertahankan UU tersebut, karena untuk melindungi kelompok rentan, bukan proteksi.
Kalau negara krisis, kata Abraham, Najib Razak mengundang 50 orang terkaya untuk bantu memulihkan krisis.
Kegelisahan juga dirasakan oleh pengamat politik Ikrar Nusa Bakti. Menurutnya Presiden sudah pasti tidak netral.
"Kita berharap TNI dan Polri netral. Kita ingin Pemilu Jurdil, " tegasnya.
Menurut dia, presiden ikut campur dalam proses Pemilu adalah fakta. Faktanya adalah presiden mengundang kepala desa ke istana.
"Kalau kepala daerah sudah di tangan Presiden, apa yang kalian bisa lakukan?," tanya Ikrar.
Ikrar juga menyampaikan pasca debat, Presiden Jokowi bicara dengan tiga menteri, membahas kampanye apa yang bisa memenangkan capres pilihannya.
"Itu kejahatan demokrasi," kata Ikrar.
Jika nanti indeks demokrasi turun, maka reputasi Indonesia di mata internasional akan gagal. Dari sisi negara berkembang dan muslim yang apik akan sulit bertahan. Indonesia tidak dipandang sebagai negara demokrasi muslim.
Dari sisi negara maju, Indonesia tidak dipandang sebagai negara muslim terbesar yang demokratis.
Indeks demokrasi sejak 2015 semakin menurun. Salah satu cara untuk menahan indeks demokrasi supaya tidak turun pengadilan tidak menghukum Haris Azhar dan Fathia Mauludiyanti.
Ketua BEM ITB, Bisma Ridho Pambudi menegaskan kondisi demokrasi hari ini sudah genting.
"Alasan apa lagi yang membuat kita diam?" tegasnya.
Sementara Ketua BEM Gielbran Muhammad Noor berharap gerakan mahasiswa akan terus membesar. Gerakan mahasiswa tidak akan berhenti, tidak takut, dan yakin ini gerakan yang benar.
Letjen (purn) Suharto mengaku teriris hatinya mendengar orasi Gielbran dan Bisma. Ungkapan itu mengingatkan kembali pada peristiwa 1998.
"Saya sungguh terbakar semangatnya dengan pengakuan adik adik," tegasnya.
Sementara itu, mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan bahwa apa yang ditemukan oleh hasil survei Pemuda ICMI dan testimoni beberapa tokoh nasional merupakan satu peringatan serius.
"Jangan main-main dengan peringatan ini. Siapapun yang tidak mengindahkan peringatan ini, berarti dia membiarkan kehancuran," tegasnya.