JAKARTA -Dinamika global yang nyata-nyata jauh dari ukuran ideal alias tidak kondusif cenderung memaksa setiap negara membarui prioritas kepentingan nasional masing-masing. Indonesia pun idealnya melakukan hal yang sama untuk meminimalisir ekses ketidakpastian global sekarang ini, utamanya terhadap kehidupan masyarakat. Fokus pada upaya peningkatan produktivitas tanaman pangan, serta lebih berhati-hati dalam pemanfaatan utang luar negeri menjadi pilihan yang bijak.
Dinamika global yang tidak kondusif saat ini disebabkan oleh perang atau konflik bersenjata di sejumlah kawasan, plus ekses atau dampak negatif perubahan iklim, utamanya terhadap sektor tanaman pangan. Semua dampak negatif itu nyata dan bisa dirasakan oleh setiap orang di sepanjang tahun 2023. Tahun-tahun mendatang pun masih sarat tantangan. Selain karena dampak perubahan iklim, dinamika global juga masih diwarnai dengan perang di berbagai kawasan.
Selain itu, muncul juga kecenderungan bahwa dinamika global yang tidak kondusif itu akan terus tereskalasi, mengacu pada beberapa indikator terbaru, termasuk yang muncul di Asia pada awal tahun 2024 ini, yakni hasil pemilihan umum di Taiwan yang menyebabkan para elit pemimpin di Tiongkok berang.
Layak menyebut sarat tantangan karena dunia saat ini masih terperangkap oleh gangguan pada aspek produksi dan suplai, disrupsi rantai pasok, gangguan lalu lintas barang dan jasa (distribusi), harga minyak (energi) yang tinggi, ancaman inflasi, perangkap suku bunga tinggi yang menggejala sejak Maret 2022, dan bayang-bayang krisis pangan karena produktivitas sektor tanaman pangan pada tingkat global pun terus mengalami penurunan. Dalam konteks Indonesia, fakta-fakta ini hendaknya digarisbawahi oleh para calon presiden yang akan berkontestasi pada Pemilu 2024, Februari mendatang.
Untuk meminimalisir ekses dari ragam tantangan itu, Indonesia sudah memrogramkan rencana impor tiga (3) juta ton beras. Total impor beras sebanyak itu secara tidak langsung menjadi penjelasan tentang adanya masalah serius dalam aspek ketahanan pangan. Program impor beras itu menjadi pilihan tak terhindarkan, karena volume produksi dalam negeri terus menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, produksi padi pada 2023 diperkirakan 53,63 juta ton gabah kering giling (GKG). Setelah dikonversikan menjadi beras, total produksi beras tahun 2023 diperkirakan sebesar 30,90 juta ton.
Jumlah itu menandai penurunan produksi padi sebanyak 1,12 juta ton GKG atau 2,05 persen jika dibandingkan produksi padi tahun 2022 yang 54,75 juta ton GKG. Dengan begitu, produksi beras pada 2023 hanya sekitar 30,90 juta ton, atau turun 645,09 ribu ton ekivalen 2,05 persen, jika dibandingkan dengan produksi beras tahun 2022 yang mencapai 31,54 juta ton.
Faktor menurunnya luas areal panen padi sangat penting untuk digarisbawahi dan ditangani melalui program berkelanjutan. Masih menurut BPS, luas areal panen padi per 2023 diperkirakan 10,20 juta hektar setelah mengalami penurunan seluas 255,79 ribu hektar, atau 2,45 persen, jika dibandingkan luas areal panen padi tahun 2022 yang mencapai 10,45 juta hektar.
Fakta tentang defisit produksi bahan pangan itu, khususnya beras, hendaknya ditangani dengan lebih sungguh-sungguh melalui program yang realistis. Tekad mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan jangan lagi dijadikan sekadar slogan. Telah diingatkan berulangkali bahwa perubahan iklim membawa dampak sangat serius, utamanya terhadap sektor tanaman pangan. Menurut perkiraan Organisasi Pangan Dunia (FAO),jika komunitas global gagal menangani persoalan seputar peningkatan suhu bumi, dunia akan menghadapi krisis pangan pada 2050.
Tidak elok jika para pemimpin era terkini mewarisi persoalan defisit produksi bahan pangan kepada generasi anak-cucu. Menyusutnya areal panen padi hendaknya mulai ditanggapi dengan program-program pemulihan kesuburan. Upaya meningkatkan produktivitas sektor tanaman harus dimulai sejak dini. Ingat, sejarah membuktikan bahwa dampak dari defisit bahan pangan akan melebar ke berbagai aspek, termasuk aspek politik serta aspek stabilitas, ketahanan serta keamanan negara-bangsa.
Selain itu, pada era suku bunga tinggi sekarang ini, kebijakan utang luar negeri serta pengelolaan dan pemanfaatannya hendaknya dilandasi kehati-hatian, dengan tetap dan selalu berpijak pada skala prioritas. Sebab, kecenderungan tingginya suku bunga acuan pada tingkat global diperkirakan berlangsung lebih lama. Faktor suku bunga yang tinggi berdampak pada naiknya beban pembayaran bunga utang luar negeri.
Total utang luar negeri Indonesia hingga akhir November 2023, sebagaimana catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), adalah Rp 8.041,01 triliun, dengan rasio terhadap PDB 38,11 persen. Pembayaran bunga utang pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 masih cukup tinggi, yakni mencapai Rp 441,4 triliun. Tingginya suku bunga saat ini tentu akan berdampak pada volume bunga utang di tahun-tahun mendatang.
Maka, kebijakan utang luar negeri saat ini dan seterusnya, idealnya, selalu berpijak pada skala prioritas, atau sebesar-besarnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Berutang ketika dinamika global sarat ketidakpastian seperti sekarang ini haruslah dilandasi pertimbangan yang arif lagi bijaksana. Karena itu, jangan gegabah memanfaatkan utang, dan mulailah lebih bersungguh-sungguh mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan.
Adalah fakta bahwa dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Sementara perang antara antara Israel dengan militan Hamas di Gaza masih berlanjut, kawasan Laut Merah pun membara pada pekan kedua Januari 2024. Amerika Serikat (AS) dan Inggris menyerang beberapa wilayah Yaman sebagai respons terhadap penguasa negara itu, Houthi, yang menyerang kapal dagang di perairan itu. Houthi menembak rudal jelajah dari wilayah Yaman, dan AS mengklaim menembak jatuh rudal itu. Houthi bertekad akan terus melawan, dengan memastikan serangan terhadap kapal dagang yang melintasi perairan Laut Merah dan Terusan Suez akan berlanjut.
Selain itu, Turki pada pekan kedua Januari 2024 pun mengerahkan kekuatan militernya, melancarkan serangkaian serangan udara terhadap situs-situs Kurdi di Irak utara dan Suriah sebagai respons atas kematian sembilan tentara Turki. Sedangkan di Gaza, Israel sudah memastikan bahwa perang melawan militan Hamas akan terus berlanjut selama beberapa bulan ke depan. Demikian pula dengan perang antara Rusia dan Ukraina yang masih berlanjut hingga kini.
Di Asia, benih eskalasi ketegangan sudah menampakan wujudnya. Sebagaimana sudah disimak bersama, pemilihan presiden Taiwan pada Sabtu (13/1) telah menampilkan Lai Ching-te dari Partai Progresif Demokratik (DPP) sebagai pemenang, dengan meraih 40,1 persen suara. Dinilai sebagai sosok yang sering membuat masalah (troublemaker), sosok Lai jelas tidak disukai Beijing. Bahkan sebelum Pemilu dimulai, para pemimpin di Beijing sudah memberi pernyataan tegas dan keras sebagai peringatan.
"Kami sampaikan kepada komunitas internasional bahwa antara demokrasi dan otoritarianisme, kami akan berpihak pada demokrasi," kata Lai. Pernyataan Lai ditanggapi juru bicara Kantor Urusan Taiwan di Beijing, Chen Binhua, dengan menegaskan kembali bahwa Taiwan merupakan wilayah yang tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan integral Tiongkok.
Bisa ditebak bahwa setiap manuver pemimpin baru Taiwan pasti akan ditanggapi dengan keras dan tegas oleh Beijing. Maka, sudah barang tentu semua negara di kawasan secara tidak langsung ‘dipaksa’ untuk terus memantau eskalasi ketegangan Tiongkok-Taiwan dengan segala kemungkinan dan dampaknya. Itulah sekilas gambaran tentang dunia yang sedang tidak baik-baik saja.
[Bambang Soesatyo: Ketua MPR RI/Dosen Pascasarjana Universitas Pertahanan RI (UNHAN), Universitas Borobudur, Universitas Terbuka (UT) dan Universitas Purbalingga (UNPERBA)]