BOGOR – Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH & SDA MUI) bersama Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI) mengajak beebagai pihak bersama-sama melakukan gerakan pencegahan bencana dan kerusakan lingkungan.
Seruan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema "Membangun Masyarakat yang Berketahanan Menghadapi Peningkatan Banjir" di Saung Kisuci (Komunitas Iklim Sungai Cikeas), Sentul, Bogor, Jawa Barat, Rabu (24/1/2024).
Dalam kata sambutanya, Ketua LPLH SDA MUI, Hayu Prabowo menyampaikan pentingnya kolaborasi dan aksi bersama dalam menghadapi banjir dan mencegah kerusakan lingkungan.
Hayu Prabowo juga menyampaikan bahwa, fenomena perubahan iklim dan kerusakan lingkungan telah meningkatkan risiko bencana alam, khususnya banjir, yang memiliki dampak signifikan terhadap ekonomi, kehidupan manusia dan infrastruktur.
“Ada empat tujuan utama dari FGD ini, yaitu membangun kolaborasi antar pemangku kepentingan, mengidentifikasi tantangan dan peluang konkret, memahami prespektif dan kebutuhan masyarakat lokal, serta merumuskan aksi bersama,”jelas Hayu Prabowo, Ketua LPLH SDA MUI.
Sementara itu, H.Ismail Lutan menyampaikan bahwa kegiatan bersama LPLH SDA MUI dan PJMI seperti ini sudah dilakukan beberapa kali.
"Sebagai organisasi yang menaungi para jurnalis, PJMI melakukan perannya pada pemberitaan, diskusi isu-isu lingkungan seperti ini perlu kita angkat, untuk memberikan kesadaran dan edukasi kepada masyarakat secara luas," ujarnya.
Di samping itu lanjut Ismail, kolaborasi dan tindak lanjut dari kegiatan ini, perlu juga memasukan adanya kegiatan penulisan profil dari para penggiat komunitas sungai Cikeas – Cileungsi khususnya, dan komunitas sungai yang ada diberbagai daerah lainya. Sehingga praktik baik yang telah dilakukan oleh komunita sungai selama ini bisa terdokumentasikan dengan baik, sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang.
Makin membahayakanSelain itu, mantan Ketua Komisi IV DPR RI ini, juga menyoroti terkait persoalan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ada di Indonesia. Berdasarkan data alalisis kejadian banjir dalam 10 tahun terakhir, di wilayah Indonesia, banjir dan longsor di 893 DAS menunjukan trend peningkatan.
“Sungai–sungai di Indonesia semakin membahayakan, sungai sudah menjadi toilet raksasa, semua hal dibuang ke sungai. Ini menjadi tugas kita bersama, untuk terus mengedukasi masyarakat, akan pentingnya menjaga lingkungan,” Prof. Jafar.
Senada dengan Ketua LPB MUI, Direktur Kesiapsiagaan BNPB, Pangarso Suryotomo, selain menekankan pentingnya kolaborasi, juga tidak kalah pentingnya adanya aksi nyata dilapangan. Aksi nyata bisa dimulai dari lingkungan terkecil, yaitu keluarga.
BNPB, lanjut pria yang akrab disapa Pak Papang, telah memiliki ‘Katalog Desa Rawan Bencana’, katalog ini memotret keberadaan desa rawan bencana sesuai acaman bencananya, sehingga ada Katalog Desa Rawan Bencana Gempa Bumi, Tsunami, Gunung Api, Longsor, Banjir, Kekeringan, Kebakaran Hutan dan Lahan, dll.
“Lebih dari 53.000 desa/kelurahan berada di daerah rawan bencana di Indonesia, dan lebih dari 51 juta keluarga di Indonesia tinggal di daerah rawan bencana,” jelas Papang, panggilan akrabnya.
Terkait persoalan banjir, Papang menekankan pentingnya memanfaatkan air hujan, selain itu juga perlunya untuk pembuatan dan pemeliharaan embung untuk menampung air.
Kepala DMC Dompet Dhuafa, Arif R Haryono menyampaikan pemaparanya, soal ‘Mengembalikan Peradaban Sungai Ciliwung’, memotret kondisi masyarakat yang ada di sekitar Ciliwung, sebuah hasil proyek kolaborasi, dimana Dompet Dhuafa memfasilitasi solusi inovatif melalui kerjasama denga berbagai mitra lainnya.
Selain banjir, menurut Arif, ada berbagai masalah lain yang ada di Sungai Ciliwung, yaitu masalah, longsor, sampah, ekosistem, pemukiman dan betonisasi. Filosofi agar pemukiman (rumah) menghadap ke sungai adalah warisan leluhur yang harus dilestarikan. Kerusakan sungai berbanding lurus dengan tata kelola pembangunan yang tidak menyesuaikan dengan lingkungan.
Narasumber dari Rumah Zakat, Al Razi Izzatul Yazid, menyampaikan ‘Tantangan dan Kolaborasi Adapatasi Perubahan Iklim’. Bahwa dampak dari adanya perubahan iklim mengancam kehidupan dan terjadinya kerusakan lingkungan yang berdampak bagi penghidupan manusia.
Selain itu, salah satu tantangannya, masyarakat masih memiliki pengetahuan yang minim mengenai isu perubahan iklim dan dampaknya.
Terkait dengan persoalan Sungai Cikeas, menurut Yazid bahwa perubahan lahan dari lahan pertanian, perkebunan dan tanah terbuka menjadi pemukiman pada sub DAS Cikeas mempengaruhi debit Sungai Cikeas.
Perlu adanya sosialisasi pelatihan tata kelola sampah kepada masyarakat di wilayah DAS. Terkait normalisasi Sungai Cikeas – Cileungsi, perlu adanya kolaborasi antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian PUPR dan Pemerintah Daerah, Pemkab Bogor.
Lebih lanjut Yazid juga menyampaikan bahwa Rumah Zakat selama periode Januari sampai dengan Desember 2023 telah melakukan berbagai upaya kegiatan pengurangan risiko bencana (PRB) yang tersebar diberbagai daerah, melalui berbagai kegiatan.
Berdasarkan data Rumah Zakat, ada 119 titik lokasi kegiatan penanaman pohon, 5 titik kegiatan Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB), 8 titik lokasi untuk kegiatan dalam rangka mendukung Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB), dan 41 titik lokasi kegiatan Bank Sampah.