HNW Ingatkan Presiden soal Abuse of Power dan Etika Keteladanan Bernegara

Agus Mughni Muttaqin | Kamis, 25/01/2024 09:40 WIB
HNW Ingatkan Presiden soal Abuse of Power dan Etika Keteladanan Bernegara Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid (HNW). (Foto: Humas MPR)

JAKARTA - Wakil MPR Hidayat Nur Wahid (HNW) mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tidak terjadi abuse of power, dan etika keteladanan bernegara terkait pernyataannya bahwa Presiden boleh berkampanye dan memihak dalam perhelatan pemilihan umum (pemilu).

HNW menyampaikan memang ada ketentuan UU yang sekilas bisa dijadikan rujukan, tapi HNW juga mengingatkan ketentuan Pasal 7 Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang jelas dan tegas mengatur soal pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode.

“Ini merupakan ketentuan Konstitusi yang juga amanat reformasi. Yang mudah dipahami bahwa di akhir periode kedua, seperti Presiden Jokowi, di akhir masa jabatan maksimalnya di periode ke dua, maka Presiden yang bukan hanya kepala pemerintahan tapi juga kepala negara, seharusnya juga mementingkan legacy, keteladanan dan etika sebagai Presiden dengan tidak perlu cawe-cawe untuk sekalipun melalui orang lain tapi esensinya sama yaitu ‘memperpanjang masa jabatannya’. Apalagi bila ‘orang lain’ itu adalah anggota keluarganya sendiri. Karena hal itu juga bentuk nepotisme yang ditolak oleh Reformasi dan menjadi ketentuan yang tidak sesuai dengan Konstitusi, sehingga harusnya dihindari oleh Presiden, agar tidak berpotensi dimakzulkan oleh DPR,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Rabu (24/1).

“Pembatasan dua periode masa jabatan Presiden ini merupakan ketentuan yang membedakan dengan jabatan-jabatan kenegaraan lainnya,” tambahnya.

Ketentuan Pasal 7 UUD NRI 1945 itu-lah yang seharusnya menjadi acuan dalam menafsirkan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu). HNW mengakui memang Pasal 299 UU Pemilu memberikan hak kepada presiden dan wakil presiden untuk berkampanye, dengan berbagai persyaratannya. Namun, yang perlu ditekankan di dalam memahami ketentuan itu adalah untuk ‘berkampanye’, bukan untuk memihak kepada salah satu calon.

“Artinya ketentuan itu seharusnya ditafsirkan bahwa Presiden dapat berkampanye untuk dirinya ketika dirinya secara konstitusi dimungkinkan untuk mencalonkan kembali sebagai salah satu kontestan Pilpres. Namun, apabila dia sudah tidak bisa mencalonkan kembali karena sudah dua periode, secara etika, presiden mestinya tidak perlu cawe-cawe lagi dengan berkampanye, apalagi kampanye terang-terangan memihak kepada salah satu calon. Karena yang langsung terkesan di mata rakyat bahwa Presiden tidak memosisikan diri sebagai Kepala Negara yang mengayomi semua pasang calon Presiden/wakil Presiden, dan bahkan Presiden tidak konsisten melaksanakan sumpah jabatan dengan menjalankan keseluruhan aturan perundangan,” tukasnya.

HNW menegaskan apalagi bila UU Pemilu dibaca secara utuh, setelah Pasal 299, ada Pasal 301 yang menegaskan bahwa ‘Presiden atau Wakil Presiden yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden dalam melaksanakan Kampanye Pemilu Presiden atau Wakil Presiden memperhatikan pelaksanaan tugas dan kewajiban sebagai presiden atau wakil presiden.

“Ketentuan itu jelas mengatur kampanye Presiden ketika yang bersangkutan maju kembali secara salah satu capres, bukan untuk yang sudah berada pada periode ke dua yang tidak memungkinkan untuk mencalonkan kembali sebagai calon Presiden,” ujarnya.

HNW juga mengingatkan kembali sumpah jabatan yang diucapkan Presiden Jokowi yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menegaskan bahwa Presiden bersumpah untuk menjalankan tugasnya sebagai Presiden dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya dan memegang teguh Undang - Undang Dasar 45, dan menjalankan segala undang-undang dan peraturan-peraturan dengan selurus-lurusnya..."

“Akan sangat baik dan menjadi legacy kenegarawanan Presiden Jokowi bila sumpah jabatan ini dipegang teguh, dan dijalankan dengan benar, sehingga Presiden bisa menahan diri sehingga terhindar dari berlaku tidak netral dengan berpihak kepada salah satu pasangan calon,” ujarnya.

Apalagi lanjut HNW, Presiden Jokowi sebelumnya berkali-kali menegaskan bahwa aparat negara harus netral dalam Pemilu 2024. Bahkan mengancam akan menghukum ASN yang tidak netral.

“Sebelumnya Presiden Jokowi sebutkan aparat negara harus netral, tetapi sekarang dirinya menyatakan bahwa bahkan Presiden bisa berpihak. Tentu ini akan berpihak, yang mudah diartikan sebagai akan cawe-cawe dengan laku ikut berkampanye untuk satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, dan karenanya tidak netral. Bagaimana mungkin ASN disuruh netral dan akan diberikan sanksi bila tidak netral, sementara Presiden sendiri justru mencontohkan ketidaknetralan,” ujarnya.

“Tentu akan lebih bagus untuk Presiden dan kepercayaan Rakyat terhadap pimpinan Negara, Pemilu dan legitimasi hasilnya, bila aturan ditegakkan secara komprehensif dan adil, dan Presiden Jokowi sebagai pimpinan negara menjadi teladan dalam melaksanakan etika dan aturan perundangan pada kemenyeluruhannya, bukan hanya pada sebagiannya saja,” pungkasnya.