• News

Diawali Soal Amandemen, Marcos dan Mantan Presiden Filipina Saling Serang

Yati Maulana | Selasa, 30/01/2024 19:05 WIB
Diawali Soal Amandemen, Marcos dan Mantan Presiden Filipina Saling Serang Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. berbicara dalam wawancara eksklusif dengan Reuters, di hotelnya di Washington, AS, 4 Mei 2023. Foto: Reuters

MANILA - Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr. menyerang balik pendahulunya, Rodrigo Duterte, yang menyebutnya sebagai "pecandu narkoba". Marcos mengatakan bahwa penggunaan fentanil oleh mantan pemimpin tersebut dapat memengaruhi penilaiannya.

“Saya pikir itu karena fentanil,” kata Marcos kepada wartawan sesaat sebelum berangkat ke Vietnam sebagai tanggapan atas klaim yang dibuat oleh Duterte pada hari Minggu ketika berbicara di sebuah rapat umum di kampung halamannya, Davao. Dia menentang langkah-langkah untuk mengamandemen konstitusi negara tersebut.

Ketika ditanya tentang tuduhan penggunaan narkoba dan seruan agar dia mundur, Marcos mengatakan, mantan presiden tersebut "sudah lama menggunakan narkoba, setelah lima, enam tahun, hal itu pasti berdampak padanya."

Pada tahun 2016, Duterte mengakui, ia menggunakan fentanil opioid sintetik yang sangat adiktif untuk menghilangkan rasa sakit setelah kecelakaan sepeda motor.
“Saya berharap dokternya merawatnya dengan lebih baik,” kata Marcos.

Duterte juga mengatakan bahwa Marcos termasuk dalam `daftar narkotika` yang diberikan kepadanya ketika ia masih menjabat sebagai Wali Kota Davao, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh Badan Pemberantasan Narkoba Filipina.

Tuduhan Duterte muncul setelah putranya, yang merupakan wali kota Davao saat ini, meminta Marcos untuk mengundurkan diri, dengan alasan kegagalannya dalam mengatasi kriminalitas dan kebijakan luar negeri yang "membahayakan kehidupan warga Filipina yang tidak bersalah".

Mantan presiden Duterte mendapat kecaman internasional karena melancarkan kampanye brutal terhadap obat-obatan terlarang ketika ia mengambil alih kekuasaan pada tahun 2016, menewaskan lebih dari 6.000 pengedar yang menurut polisi menolak ditangkap selama operasi anti-narkoba.

Pengadilan Kriminal Internasional telah mengizinkan penyelidikan atas pembunuhan tersebut dilanjutkan, namun Marcos mengatakan pemerintahnya tidak akan bekerja sama.