JAKARTA – Kasus kekerasan di pesantren masih terus terjadi, bahkan hingga memakan korban jiwa seperti kasus yang terjadi di sebuah pessantren di Kediri, Jawa Timur, baru-baru ini. Sebelum terjadi kasus perundungan, korban sempat meminta untuk dijemput orang tuanya.
Kematian santri tersebut membuat sebagian warganet menyesalkan permintaan itu tidak dituruti ayah dan ibu korban.
Sejatinya, ada beragam alasan yang bisa membuat anak-anak di pesantren atau boarding school meminta untuk dipulangkan ke rumah. Sebagian anak mungkin ingin pulang karena tak bisa beradaptasi atau sedang merindukan suasana rumah.
Namun, ada kalanya, alasan yang membuat anak ingin pulang ke rumah jauh lebih serius, seperti perundungan.
Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Prof Dr Rose Mini Agoes Salim MPsi Psikolog, mengatakan ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh orang tua bila dihadapkan pada situasi seperti ini.
Hal pertama yang perlu dilakukan oleh orang tua adalah mencari tahu.
"Kalau anak menghubungi untuk minta dijemput, maka orang tua harus mencari tahu kepada guru, atau pembimbing, atau siapa yang bertanggung jawab di asrama tersebut (mengenai) apa yang terjadi pada anaknya," ungkap psikolog yang akrab disapa sebagai Bunda Romi tersebut seperti dilansir Republika.co.id, Rabu (28/2/2024).
Prof Rose Mini juga menganjurkan orang tua untuk mencari tahu alasan yang membuat sang anak ingin dijemput pulang. Karena tanpa adanya penjelasan dari sang anak, akan sulit bagi orang tua untuk mengetahui kondisi yang sedang terjadi.
"Selain itu, pembimbing yang ada di asrama tersebut juga harus cukup terbuka, untuk tidak menutupi apa yang terjadi di sana." tutur Prof Rose Mini.
Agar anak bisa bercerita secara terbuka mengenai kondisi yang dia alami selama di boarding school, Prof Rose Mini mengatakan orang tua perlu membangun hubungan yang baik dengan anak. Sebagai contoh, orang tua sebaiknya tidak marah bila anak mereka tiba-tiba menelepon atau menghubungi mereka, meski ada aturan di boarding school yang mungkin melarang murid menelepon orang tua.
"Misalnya, `Kan nggak boleh nelepon, jadi kamu nggak boleh nelepon dulu ya Nak`. Jangan begitu. Didengarkan dulu," kata Prof Rose Mini.
Ketika orang tua mau mendengarkan dan merangkul, anak mungkin bisa bercerita lebih terbuka kepada orang tua. Dengan begitu, anak bsia bercerita mengenai pengalamannya selama berada di asrama atau boarding school secara apa adanya.
Perundungan di Boarding School
Direktur Lembaga Psikologi Daya Insani, Sani Budiantini Hermawan SPsi Psikolog, mengungkapkan bahwa boarding school merupakan jenis sekolah yang memiliki peluang bullying yang lebih tinggi. Alasannya, semua anak baik itu murid junior maupun senior, dikumpulkan atau digabungkan di satu tempat tanpa adanya kehadiran orang tua.
Sani mengatakan, peran orang tua selama anak-anak berada di boarding school biasanya digantikan oleh sosok ibu asuh. Akan tetapi, kehadiran ibu asuh dalam memantau para murid di boarding school juga memiliki keterbatasan.
Oleh karena itu, orang tua dianjurkan untuk melakukan seleksi yang baik bila memutuskan untuk memasukkan anak ke boarding school. Salah satu hal yang perlu dipertimbangkan adalah keberadaan sistem keamanan yang cukup baik, seperti adanya CCTV dan siskamling.
Selain itu, boarding school juga idealnya perlu memiliki sistem penuntasan pelaporan yang baik. Pastikan sekolah tersebut mampu menyelesaikan laporan perudungan hingga tuntas, sehingga perundungan tidak "bersisa" dan menjadi tradisi di antara para murid.
"(Perundungan menjadi tradisi) ini yang berbahaya karena akan meningkatkan kepribadian yang agresif atau abnormal," ujar Sani.
Selain itu, orang tua juga perlu mengenali dan mencermati tanda-tanda yang mungkin mengindikasikan anak mereka menjadi korban perundungan. Sebagian dari tanda-tanda tersebut adalah anak tampak malas untuk ke sekolah, mulai sering sakit atau memiliki keluhan sakit kepala atau nyeri lambung.
"Itu juga tanda-tanda dia mungkin mengalami stres ketika di boarding school, dan mungkin juga itu tanda-tanda perlu adanya pemeriksaan lebih lanjut," kata Sani.