JAKARTA - Sejarah munculnya gerakan Lesbian, Gay, Bisexual, dan Transgender (LGBT) memiliki akar yang panjang dan berkembang dari berbagai peristiwa penting, terutama di abad ke-20.
Perjalanan panjang gerakan ini mencakup perjuangan untuk hak-hak dasar, pengakuan hukum, dan perlindungan dari diskriminasi. Secara garis besar, awal gerakan LGBT mulai muncul pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Pada akhir abad ke-19, seksualitas mulai dipelajari secara ilmiah. Seksolog seperti Karl Heinrich Ulrichs di Jerman merupakan salah satu tokoh pertama yang memperkenalkan konsep "homoseksualitas" dan mendukung hak-hak kaum gay.
Kemudian, pada tahun 1897, Magnus Hirschfeld mendirikan Scientific-Humanitarian Committee di Jerman, yang dianggap sebagai organisasi pertama yang memperjuangkan hak-hak homoseksual. Hirschfeld ialah dokter dan aktivis yang mendukung hak-hak homoseksual dan transgender.
Selain itu, di Amerika pada tahun 1940-an dan 1950-an, homoseksualitas masih dianggap sebagai penyakit mental di banyak negara, termasuk Amerika Serikat (AS). Namun, beberapa organisasi mulai terbentuk untuk memperjuangkan hak-hak LGBT.
Salah organisasi yang mendukung gerakan LGBT ini ialah Mattachine Society yang didirikan pada tahun 1950 oleh Harry Hay di Amerika Serikat dan menjadi salah satu organisasi pertama yang memperjuangkan hak-hak kaum gay di AS.
Lantas pengaruh tersebut meluas, hingga pada tahun 1955, Daughters of Bilitis didirikan sebagai organisasi hak-hak lesbian pertama di Amerika. Organisasi ini mengadakan pertemuan rahasia dan membantu mengadvokasi hak-hak wanita lesbian dalam masyarakat.
Seiring berjalannya waktu, gerakan LGBT semakin marak dilakukan hingga terjadi sebuah kerusuhan di Stonewall Inn, Greenwich Village, New York City, pada 28 Juni 1969 hingga menjadi titik balik besar dalam sejarah gerakan LGBT. Saat itu, terjadi penggerebekan polisi terhadap bar yang menjadi tempat berkumpul kaum gay, yang direspon oleh para pelanggan dengan perlawanan.
Kerusuhan ini memicu serangkaian aksi protes dan menginspirasi terbentuknya gerakan LGBT yang lebih terbuka dan berani. Tahun berikutnya, pada 1970, diadakan parade pertama di New York City untuk memperingati peristiwa Stonewall, yang menjadi awal dari tradisi parade Pride di seluruh dunia.
Pada 1970-an, gerakan hak-hak LGBT mulai berkembang pesat di Amerika Serikat, Eropa, dan negara-negara lain. Organisasi-organisasi baru bermunculan, dan isu-isu seperti diskriminasi di tempat kerja, perlindungan hukum, serta hak untuk hidup bebas dari kekerasan mulai menjadi perhatian.
Hingga tahun 1973, Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) menghapus homoseksualitas dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), menandai perubahan penting dalam pandangan medis tentang homoseksualitas.
Sampai pada 1980-an, epidemi HIV/AIDS merebak dan berdampak besar pada komunitas LGBT, terutama pria gay. Hal ini memobilisasi aktivisme dalam komunitas LGBT untuk menuntut perhatian pemerintah dan meningkatkan kesadaran tentang AIDS.
Lebih lanjut, pada tahun 90-an sampai 2000-an, di beberapa negara Barat, pernikahan sesama jenis dan hak-hak LGBT mulai mendapatkan dukungan publik. Negara seperti Belanda menjadi yang pertama di dunia yang melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2001.
Gerakan LGBT semakin kuat di berbagai belahan dunia, dengan aktivis berjuang untuk dekriminalisasi homoseksualitas dan hak-hak sipil lainnya di negara-negara yang masih mengkriminalisasi hubungan sesama jenis.
Pada tahun 1999, Presiden AS Bill Clinton mengumumkan bulan Juni sebagai Pride Month, yang sekarang dirayakan secara internasional sebagai bulan perayaan kebanggaan LGBT.
Dalam dekade 2010-an, semakin banyak negara yang mengesahkan undang-undang yang melindungi hak-hak LGBT, termasuk pengakuan pernikahan sesama jenis. Amerika Serikat melegalkan pernikahan sesama jenis secara nasional pada tahun 2015 setelah putusan Mahkamah Agung dalam kasus Obergefell v. Hodges.
Gerakan ini juga mulai memperjuangkan hak-hak transgender, dengan tuntutan untuk hak identitas gender, akses ke perawatan medis, dan perlindungan dari diskriminasi.
Pada saat yang sama, masih terdapat tantangan di beberapa negara di Asia, Afrika, dan Timur Tengah, di mana homoseksualitas masih dianggap ilegal dan kerap kali dikenai sanksi berat. Aktivis LGBT di negara-negara tersebut terus berjuang untuk hak dasar mereka meskipun sering menghadapi risiko kekerasan dan penindasan.